Wednesday 22 April 2009

Al-Hamdulillah

As I rise each day
Al-Hamdulillah I say
As I put on my dress
Al-Hamdulillah I express

As I fill my empty plate
Al-Hamdulillah I state
As I make ready to strive
Al-Hamdulillah for another day alive

As I hear the birds sing
Al-Hamdulillah for the melody they bring
As I watch the sun rise
Al-Hamdulillah for my eyes

As I wash in the stream
Al-Hamdulillah I am clean
As I pray my Salat
Al-Hamdulillah for the best start

As I share my gifts with neighbours
Al-Hamdulillah for Allah's favours
As I delight with my family
Al-Hamdulillah for their care for me

As I pray for forgiveness
Al-Hamdulillah for deliverance
As I open the Qur'an
Al-Hamdulillah for my Iman

As I understand and take heed
Al-Hamdulillah, Al-Hamdulillah
For all the good I receive.

The Hijab...


They stand there with shorts, so short, excessively short,
shorts that so deceptively capture from them all they know
of modesty...

...and I proudly pull my scarf over my hair

They stand there, face lost in a sea of make-up,
make-up that so ruthlessly captures from them all they know
of freedom...

...and I proudly pull my scarf over my hair

They stand there, hair raining with gels, colors -
chemicals that so menacingly capture from them all they know
of purity...

...and I proudly pull my scarf over my hair

They stand there, so close, so very close to their "lover",
devoted to them, the devotion that so mercilessly captures
from them all they know of individuality...

...and I proudly pull my scarf over my hair

And they stand there, talking of getting new shorts, new gels
and colors, new boyfriends, materialistic things
that so wrongfully capture from them all they know
of God and love...

...and I proudly pull my scarf over my hair

For my scarf is my protector, my lover, my devotion,
my pureness, my beauty, my rememberance of God

And I proudly pull it over my hair knowing that when I wear it,
I so rightfully thrust away all the things that the devil
brought about,

And when I put it on, I am

Free.......

Baginda Menjadi Budak

Kadangkala untuk menunjukkan sesuatu kepada sang Raja, Abu Nawas tidak bisa hanya sekedar melaporkannya secara lisan. Raja harus mengetahuinya dengan mata kepala sendiri, bahwa masih banyak di antara rakyatnya yang hidup sengsara. Ada saja praktek jual beli budak.

Dengan tekad yang amat bulat Abu Nawas merencanakan menjual Baginda Raja. Karena menurut Abu Nawas hanya Baginda Raja yang paling patut untuk dijual. Bukankah selama ini Baginda Raja selalu mempermainkan dirinya dan menyengsarakan pikirannya? Maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang giliran Abu Nawas mengerjai Baginda Raja.

Abu Nawas menghadap dan berkata kepada Baginda Raja Harun Al Rasyid. "Ada sesuatu yang amat menarik yang akan hamba sampaikan hanya kepada Paduka yang mulia."
"Apa itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda langsung tertarik.
"Sesuatu yang hamba yakin belum pemah terlintas di dalam benak Paduka yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan.
"Kalau begitu cepatlah ajak aku ke sana untuk menyaksikannya." kata Baginda Raja tanpa rasa curiga sedikit pun.
"Tetapi Baginda..." kata Abu Nawas sengaja tidak melanjutkan kalimatnya.
"Tetapi apa?" tanya Baginda tidak sabar.
"Bila Baginda tidak menyamar sebagai rakyat biasa maka pasti nanti orang-orang akan banyak yang ikut menyaksikan benda ajaib itu." kata Abu Nawas.

Karena begitu besar keingintahuan Baginda Raja, maka beliau bersedia menyamar sebagai rakyat biasa seperti yang diusulkan Abu Nawas. Kemudian Abu Nawas dan Baginda Raja Harun Al Rasyid berangkat menuju ke sebuah hutan. Setibanya di hutan Abu Nawas mengajak Baginda Raja mendekati sebuah pohon yang rindang dan memohon Baginda Raja menunggu di situ. Sementara itu Abu Nawas menemui seorang Badui yang pekerjaannya menjual budak.

Abu Nawas mengajak pedagang budak itu untuk melihat calon budak yang akan dijual kepadanya dari jarak yang agak jauh. Abu Nawas beralasan bahwa sebenarnya calon budak itu adalah teman dekatnya. Dari itu Abu Nawas tidak tega menjualnya di depan mata. Setelah pedagang budak itu memperhatikan dari kejauhan ia merasa cocok. Abu Nawas pun membuatkan surat kuasa yang menyatakan bahwa pedagang budak sekarang mempunyai hak penuh atas diri orang yang sedang duduk di bawah pohon rindang itu.

Abu Nawas pergi begitu menerima beberapa keping uang emas dari pedagang budak itu. Baginda Raja masih menunggu Abu Nawas di situ ketika pedagang budak menghampirinya. Ia belum tahu mengapa Abu Nawas belum juga menampakkan batang hidungnya. Baginda juga merasa heran mengapa ada orang lain di situ.
"Siapa engkau?" tanya Baginda Raja kepada pedagang budak.
"Aku adalah tuanmu sekarang." kata pedagang budak itu agak kasar. Tentu saja pedagang budak itu tidak mengenali Baginda Raja Harun Al Rasyid dalam pakaian yang amat sederhana.
"Apa maksud perkataanmu tadi?" tanya Baginda Raja dengan wajah merah padam.
"Abu Nawas telah menjual engkau kepadaku dan inilah surat kuasa yang baru dibuatnya." kata pedagang budak dengan kasar.
"Abu Nawas menjual diriku kepadamu?" kata Baginda makin murka.
"Ya!" bentak pedagang budak.
"Tahukah engkau siapa aku ini sebenarnya?" tanya Baginda geram.
"Tidak dan itu tidak perlu." kata pedagang budak seenaknya. Lalu ia menyeret budak barunya ke belakang rumah. Sultan Harun Al Rasyid diberi parang dan diperintahkan untuk membelah kayu. Begitu banyak tumpukan kayu di belakang rumah badui itu sehingga memandangnya saja Sultan Harun Al Rasyid sudah merasa ngeri, apalagi harus mengerjakannya.

"Ayo kerjakan!"
Sultan Harun Al Rasyid mencoba memegang kayu dan mencoba membelahnya, namun si Badui melihat cara Sultan Harun Al Rasyid memegang parang merasa aneh.
"Kau ini bagaimana, bagian parang yang tumpul kau arahkan ke kayu, sungguh bodoh sekali!"

Sultan Harun Al Rasyid mencoba membalik parang hingga bagian yang tajam terarah ke kayu. Ia mencoba membelah namun tetap saja pekerjaannya terasa aneh dan kaku bagi si Badui.

"Oh, beginikah derita orang-orang miskin mencari sesuap nasi, harus bekerja keras lebih dahulu. Wah lama-lama aku tak tahan juga." gumam Sultan Harun Al Rasyid. Si Badui menatap Sultan Harun Al Rasyid dengan pandangan heran dan lama-lama menjadi marah. Ia merasa rugi barusan membeli budak yang bodoh.

"Hai Badui! Cukup semua ini aku tak tahan."
"Kurang ajar kau budakku harus patuh kepadaku!" kata Badui itu sembil memukul baginda. Tentu saja raja yang tak pernah disentuh orang itu menjerit keras saat dipukul kayu.
"Hai Badui! Aku adalah rajamu, Sultan Harun Al Rasyid." kata Baginda sambil menunjukkan tanda kerajaannya.

Pedagang budak itu kaget dan mulai mengenal Baginda Raja. Ia pun langsung menjatuhkan diri sembil menyembah Baginda Raja. Baginda Raja mengampuni pedagang budak itu karena ia memang tidak tahu. Tetapi kepada Abu Nawas Baginda Raja amat murka dan gemas. Ingin rasanya beliau meremas-remas tubuh Abu Nawas seperti telur.

Hierarki Kewalian


Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut :

  1. Wali Aqthab atau Wali Quthub

  2. Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.

  3. Wali Aimmah
    Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.


  4. Wali Autad
    Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Kakbah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Haiyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdu Murid.


  5. Wali Abdal
    Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab Futuhatul Makkiyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu, mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
    Pada tahun 586 di Spanyol, Ibnu Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Abdul Madjid bin Salamah sahabat Ibnu Arabi pernah bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.


  6. Wali Nuqoba’
    Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.


  7. Wali Nujaba’
    Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.


  8. Wali Hawariyyun
    Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair bin Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.


  9. Wali Rajabiyyun
    Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.

    Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.

    Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.


  10. Wali Khatam
    Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd,saw.

Allah Tidak Pernah Menunda BalasanNya



"Maha Besar Allah manakala si hamba melakukan amal ibadah kontan, lalu Allah menunda balasannya"

Allah senantiasa membalas amal hamba seketika, sama sekali tidak pernah menunda, walau pun kelak di akhirat masih diberi balasan lebih besar lagi.

Adapun balasan seketika yang kita terima adalah bertambahnya dekat kita kepada Allah, bertambah baik hati kita, bertambah terpuji akhlak kita, bertambah sabar, tawakkal, ridlo, ikhlas, yaqin, ma'rifat dan mahabbah kita kepada Allah Ta'ala.'

Dunia ini kotor, dan karena itu Allah ingin membalasnya dengan keagungan yang luhur yang kelak bisa kita rasakan ketika di akhirat yang merupakan wilayah yang agung. Balasan yang kita terima di dunia adalah balasan langsungnya berupa pencahayaan iman kita di sini, karena memang itulah yang kita butuhkan di dunia.

Kenapa demikian? Menurut Syeikh Zarruq, karena ada tiga alasan utama :
Pertama, Allah Maha Murah dan Mulia dan Yang Maha Murah nan Mulia itu manakala memberikan anugerah pasti sempurna, dan memberikan keutamaan pasti sampai.

Kedua, seorang hamba sesungguhnya sangat faqir kepada Allah, membutuhkan hajat seketika dan hajat yang akan datang, lalu Allah memberikan yang dibutuhkan hambanya berupa pahala dan kebajikan kelak di akhirat.

Ketiga, maksud Allah Ta'ala pada hamba-hambaNya yang ikhlas adalah menunggalkan DiriNya dalam hati hamba, kemudian Allah mempertegas apa yang harus dihadapi si hamba. Dan kalau toh pun balasannya dibalik ketaatan hamba berupa Taufiq, maka itu klebih dari cukup bagi si hamba. Karena itu Ibnu Athaillah as-Sakandary melanjutkan:

"Cukuplah bahwa yang disebut balasan bagimu, adalah, bahwa Allah Ridlo padamu sebagai hamba yang taat kepadaNya."

Sebab yang layak bagi kita semua tak lebih adalah serba kurang yang melekat pada diri kita, sifat kurang yang lazim dan niscaya. Sedangkan hasrat untuk meraih kesempurnaan diri kita tidak akan pernah bisa diraih kecuali berkat rahmat dan fadhalNya, sebagaimana dalam Al-Qur'an dijelaskan: "Kalau bukan karena fadlanya Allah padamu dan rahmatNya, kalian tidak akan pernah bisa bersih dari dosa." (an-Nuur 21)

"Kalau bukan karena fadhal Allah dan rahmatNya, niscaya kalian mengikuti syetan, kecuali hanya sedikit (yang tidak mengikuti)." (an-Nisa, 23)

"Tetapi sesungguhnya Allah menganugerahi kamu dengan memberikan hidayah bagi iman, manakala kamu jujur." (Al-Hujurat 17)

Penjelasannya:

  • Taat merupakan kesempurnaan bagimu yang didalamnya ada TaufiqNya dalam rangka menyempurnakan dirimu.
  • Taat merupakan rasa aman bagimu di dunia dan akhirat, dan segala apa yang anda raih bermula dari rasa aman anda.
  • Bahwa anda bisa taat, berarti itu merupakan kemuliaan bagimu di dunia dan di akhirat, berupa keistemewaan, disamping adanya pahala.

Bahkan beliau melanjutkan:
"Cukuplah balasan bagi orang-orang yang beramal ibadah, bahwa Allah membukakan hatinya di dalam ibadahnya, dan segala anugerah yang melimpah pada mereka berupa kemesraan denganNya."

Keindahan taat dan kemanisan mesra bersama Allah dalam munajat merupakan anugerah dan sekaligus balasan ngsung atas kepatuhaan kita kepadaNya, bahkan kebeningan jiwa yang memancarkan cahaya di ruang batin kita.

Oleh sebab itu sebagian Sufi mengatakan, "Di dunia ini ada syura, siapa yang masuk syurga di dunia ini, ia tidak lagi rindu pada syurga di akhirat bahkan tidak pada sesuatu pun yang diinginkan, dan syurga itu adalah Taat kepada Allagh Azza wa-Jalla."

Yang lain menegaskan, "Tak ada yang menyerupai nikmat syurga, kecuali dirasakan kalangan yang bergantrung hatinya kepada Allah di malam hari melalui lezatnya munajat."

Dalam Al-Qur'an dijelakan: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh maka Yang Maha Rahman akan menjadikan bagi mereka rasa cinta yang dalam." (Maryam: 96). (SN)