Saturday 28 February 2009

Isyarat Bukanlah Tanda Ma’rifat

Bukan disebut orang yang ma'rifat, manakala ia berisyarat, ia mendapatkan Allah lebih dekat kepadanya, dari isyaratnya tadi. Tetapi orang yang Arif (ma'rifat) adalah orang yang tidak punya isyarat, karena fana'nya dalam WujudNya dan terliput dalam Musyahadah padaNya.

Bukanlah disebut orang yang ‘Arif (ma'rifatullah) yang sempurna dan hakiki adalah bukanlah orang yang apabila mendapatkan isyarat dalam hatinya tentang Asma dan sifatNya, lantas merasa telah bertemu Allah Swt, karena isyarat itu.

Berarti masih bukan tergolong orang yang 'Arifun, manakala masih:

1. Mengandalkan dan bergantung pada isyarat-isyarat hakikat,

2. Merasa sudah sampai kepadaNya, karena Isyarat Hakikat itu;

3. Adanya sebab akibat yang menjadi perantara (berupa isyarat) antara dirinya dengan Allah;

4. Berkutat dengan rahasia-rahasia Ilahi, dan lupa akan kelemahan dan kefanaan diri.

5. Masih ada ketakutan dan kegelisahan dibalik Isyarat yang diterima

6. Adanya isyarat menunjukkan adanya jarak jauh antara dia dan Dia.

7. Adanya keasyikan tersendiri dibalik isyarat-isyarat yang diterima.


Orang yang tergolong 'Arifun, adalah manakala:
8. Tidak lagi punya isyarat, karena telah fana' dalam Ilahi, lebur dari segala isyarat maupun peringatan.

9. Runtuhnya isyarat, karena karena menyaksikan KeparipurnaanNya. Bukan karena kekurangan dan keteledorannya dari interaksi dengan Jalal dan JamalNya.

10. Telah fana dalam WujudNya dari wujudnya sendiri

11. Telah fana dalam PenyaksianNya dari penyaksian dirinya sendiri.

12. Kemana pun menghadap hanya Wajah Allah yang tampak di mata hatinya.

13. Hanya Allah yang diharapkan, bukan limpahan manifestasi sifat-sifatNya, baik limpahan nikmat maupun penampakan kekuarangan atau dosanya.

14. Tidak ada lagi ketakutan dan kegelisahan. (SN)

Saturday 21 February 2009

Mulia, Kuat dan Kaya


Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany -Pagi hari di Madrasahnya, tanggal 19 Rajab 545 H.
Dari Nabi saw : beliau bersabda:
"Siapa yang senang menjadi manusia paling mulia, hendaknya bertaqwa kepada Allah. Dan siapa yang senang menjadi manusia paling kuat, hendaknya bertawakkal kepada Allah. Dan siapa yang senang menjadi manusia paling kaya hendaknya apa yang ada di tangan Allah lebih dipercaya ketimbang apa yang ada di tangannya. (Hr. Al-Hakim di Al-Mustadrak).

Artinya siapa yang ingin kemuliaan dunia dan akhirat hendaknya bertaqwa kepada Allah Azza wa-Jalla:

"Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertaqwa." (Al-Hujurat: 13)

Kemuliaan ada pada ketaqwaan seseorang, sedangkan kehinaan ada dalam maksiatnya. Siapa yang ingin kuat dalam agama Allah Azza wa Jalla hendaknya ia bertawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, karena tawakal itu membenarkan hati, menguatkan, membersihkan, menunjukan dan menampakkan keajaiban Illahi. Karena itu jangan berserah diri pada uangmu, dinarmu, dan usahamu. Justru itu bisa melemahkan dirimu, karenanya tawakal-lah kepada Allah Azza wa Jalla, karena Allah Ta’ala menguatkanmu, menolongmu dan mengasihimu serta membukakanmu tanpa terduga disamping mengokohkan hatimu.

Jangan peduli dengan datangnya dunia atau perginya dunia dari sisimu. Jangan peduli pula dengan penerimaan (dukungan) atau penolakan makhluk padamu, maka pada saat itulah anda menjadi manusia terkuat.

Bila anda berpegang pada harta, jabatan, keluarga dan nusahamu, maka sama dengan anda menantang murka Allah azza wa Jalla, karena semua itu akan sirna. Disamping tipudaya dibalik semua itu, dimana Allah swt tidak senang ada yang lain selain Allah di hatimu.

Siapa yang ingin kaya dunia akhirat hendaknya betaqwa kepada Allah Azza wa Jalla, bukan takut pada yang lain. Hendaknya ia bersimpuh di pintuNya, malu bersimpung di pintu selain pintuNya. Seharusnya ia pejamkan mata hatinya untuk memandang selain Dia Azza wa Jalla, namun bukan mata kepalanya.

Bagaimana anda percaya dengan apa yang ada di tangan anda, sedangkan semua itu akan sirna? Sementara anda malah tidak percaya pada apa yang di Tangan allah Azza wa Jalla yang tak pernah sirna? Semua ini karena kebodohan anda pada Allah Ta’ala, lalu beralih ke yang lainNya. Percayamu pada Allah membuatmu cukup, dan percayamu pada selainNya membuatmu fakir.

Wahai orang yang yang meninggalkan ketaqwaan, anda telah diharamkan mendapatkan kemuliaan dunia akhirat.

Wahai orang yang tawakal kepada makhluk dan usaha, anda telah terhalang dari kekuatan dan kemuliaan bersama Allah Azza wa-Jalla dunia akhirat.

Wahai orang yang percaya pada milik kuasanya, anda telah terhalang meraih kaya raya dunia akhirat bersama Allah Azza wa Jalla.

Anak-anak sekalian, jika anda menjadi orang yang bertaqwa, bertawakal dan percaya teguh pada Allah Azza wa Jalla hendaknya anda sabar. Karena sabar itu dasar setiap kebajikan. Bila niatmu benar dalam sabar, maka sabarmu hanya demi wajah Ilahi Azza wa Jalla, maka anda akan dapat balasan berupa cintaNya dalam hatimu, DekatNya padamu dunia akhirat.

Sabar itu berarti berserasi dengan ketentuan dan takdirNya yang telah mendahului pengetahuanmu, dimana tak seorang pun dari makhlukNya bisa menghapus takdir itu.

Hal demikian akan tertanam dalam diri mukmin yang yaqin. Maka sabar atas takdirNya itu memberi kemerdekaan, bukan keterdesakan.

Sabar di awalnya merupakan keterhimpitan, namun langkah berikutnya adalah kebebasan. Bagaimana anda mengaku beriman tetapi anda tidak bersabar? Bagaimana anda mengaku ma’rifat tetapi anda tidak ridlo? Iman dan ma’rifat bukan sekadar pengakuan.

Tidak bisa disebut beriman dan ma’rifat sampai anda memandang gerbangNya, membiarkan celaan dan sabar atas lingkar takdir dan pijakan manfaat dan derita, yang menginjak hatimu, bukan pikiran dan inderawimu, sementara anda tetap di tempat, seperti terbius, jasad tanpa ruh.

Perkara ini diperlukan ketenangan, tanpa gerakan, tersembunyi tanpa harus menghilang dari massa, dimana qalbu, sirr, batin, dan makna anda tidak ada di tengah mereka. Sungguh sudah banyak apa yang saya bicarakan, dan sungguh betapa sedikit yang kalian amalkan. Sudah panjang lebar saya uraikan tetapi anda tak pernah faham. Sudah banyak yang kuberikan, tetapi tidak pernah kalian ambil. Sudah banyak nasehatku tetapi anda tidak mengambil pelajaran.

Betapa keras hatimu betapa bodohnya kamu pada Allah Azza wa Jalla. Jika anda tahu dan beriman pada Pertemuan dengan Allah Azza wa Jalla, dan jika anda ingat mati serta apa yang ada dibalik kematian, kenapa anda masih berlaku demikian? Bukankah anda telah menyaksikan kematian ayah dan ibumu dan keluargamu? Telah menyaksikan kematian raja-rajamu? Bukankah itu telah menjadi peringatan dan nasehat bagimu dan mengendalikan nafsumu, disbanding upayamu berburu dunia dan cinta atas tetapnya dunia? Kernapa hatimu tidak cemburu, lalu kalian keluarkan dunia dan makhluk dari hatimu? (SN)

Nilai Seorang Mursyid

Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab tidak seorangpun terbebas dari aib dan kesalahan kecuali para Nabi. (Imam Al-Ghazali)

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’I dikenal dengan nama Imam al Ghazali lahir tahun 450 H/1058 M di propinsi Khurasan Irak. Beliau mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak dalam berhujjah sehingga digelar sebagai hujjatul Islam. Diantara banyak karya tasawuf yang beliau karang yang sangat terkenal sampai sekarang adalah Ihya Ulumuddin (Kebangkitan ilmu-ilmu Agama).


Imam al Gahazali pada mulanya bukanlah pengamal tasawuf bahkan beliau tidak begitu mempercayai penomena-penomena kekeramatan yang di alami oleh orang-orang shaleh sampai Allah memberikan petunjuk kepada beliau sebagai mana yang beliau ceritakan berikut yang kami kutip dari buku Abdul Qadir Isa, Hakikat Tasawuf :


Pada awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang shaleh dan derajat-derajat yang dicapai oleh para ahli makrifat. Hal ini terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan Mursyid-ku, Yusuf an Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku memperoleh karunia-karunia ilahiyah. Aku dapat melihat Allah dalam mimpi. Dia berkata kepadaku, “wahai Abu Hamid, tinggalkanlah segala kesibukanmu. Bergaullah dengan orang-orang yang telah Aku jadikan tempat untuk pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang menggadaikan dunia dan akhirat karena mencintai Aku.” Aku berkata, “Demi kemulyaan-Mu, aku tidak akan melakukannya kecuali Engkau membuatku dapat merasakan sejuknya berbaik sangka kepada mereka.” Allah berfirman, “Sungguh Aku telah melakukannya. Yang memutuskan hubungan antara engkau dan mereka adalah kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah dari kesibukanmu mencintai dunia dengan suka rela sebelum engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Maha Suci.” Aku bangun dengan penuh gembira. Lalu aku mendatangi Syekh-ku, Yusuf an Nasaj, dan menceritakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami peroleh di fase awal perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka matahati mu akan semakin tajam.”


Pengalaman Imam Al Ghazali berjumpa dengan Allah dalam mimpi atas bimbingan Guru Mursyidnya menyebabkan beliau sangat yakin dengan ilmu tasawuf yang selama ini tidak menjadi perhatiannya. Pengalaman yang tidak pernah Beliau alami sebelumnya walaupun telah hapal Al Qur’an, ribuan hadist dan berbagai karya ulama-ulama besar. Dan dari keterangan Guru Mursyid beliau ternyata perjumpaa dengan Allah dalam mimpi yang dialami oleh Imam Al Ghazali itu hanyalah fase awal dari perjalanan rohani. Tentu saja pengalaman-pengalaman spiritual yang dialami oleh Imam al Ghazali bisa juga dialami oleh orang lain asal memenuhi rukun dan syaratnya.


Imam al Ghazali berpendapat bahwa sangat penting bagi seseorang yang menempuh perjalan rohani mempunyai seorang Guru Mursyid yang membimbing agar tidak tersesat sebagaimana yang beliau kemukakan :


“Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia haru mempunyai seorang Mursyid dan pendidikan spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak yang tercela. Yang dimaksud pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan lurus. Dan sebelum Rasulullah SAW`wafat, Beliau telah menetapkan para Khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang Mursyid.”


Menurut Imam al Gahazali, pada umumnya manusia tidak bisa melihat penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri kecuali orang-orang yang telah terbuka hijabnya dan telah tercerahkan lewat bimbingan Mursyid. Seseorang hanya dapat melihat korotan saudaranya tapi dia tidak bisa melihat kotorannya sendiri. Seorang Mursyid atas karunia Allah mengetahui penyakit-penyakit hati manusia. Oleh karenanya kata Imam Al Ghazali apabila menusia ingin mengetahui penyakit-penyakit jiwanya hendaknya dia duduk dihadapan Mursyid yang mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk Mursyidnya itu dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, Mursyid atau gurunya akan dapat mengenalkannya tentang penyakit penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.


Zaman sekarang orang menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu-ilmu yang tidak berhubungan dengan dirinya sendiri dan melupakan tentang ilmu mengenal diri. Tasawuf adalah ilmu untuk penyucian hati dan ilmu untuk mengenal diri agar bisa mengenal Tuhan. Tasawuf bukan sekedar ilmu yang dibaca dan dihapal lalu dipraktekkan menurut selera masing-masing. Tasawuf pada intinya adalah ilmu kerohanian yang membutuhkan seorang Master yang ahli untuk membimbing manusia kepada Tuhan. Dialah Mursyid yang bukan hanya mengatakan bahwa Allah itu Esa dengan segala sifat-sifat-Nya tapi juga bisa mengantarkan muridnya langsung bertemu dengan Allah sebagaimana pengalaman Imam Al Ghazali diantarkan kehadirat Allah oleh Guru Mursyidnya.


Saya selalu bersyukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya yang tidak terhingga dengan diperkenalkan saya dengan salah seorang Auliya-Nya. Beliau lah yang membimbing saya kehadirat Allah SWT menemukan cahaya dalam kegelapan hati. Tanpa Mursyid, sungguh saya hanyalah seorang hamba baca yang merasa tahu tanpa bisa merasakan apa-apa.


Semoga Allah Yang Maha Rahman dan Maha Rahim akan selalu mengekalkan kita dalam karunia-Nya bersama dengan kekasih-Nya di muka bumi, memberikan kesempatan untuk terus menyaksikan keindahan wajah-Nya, mengizinkan kita untuk terus mendengar firman-Nya yang Maha Menggetarkan. Semoga! (SM)

Monday 16 February 2009

Derajat Arifin (III)

Abu badullah ra, mengatakan, “Jadikan Allah itu sebagai majlis dan tempat kemesraan. Disiplinlah khidmah pada Tuhanmu. Maka dunia akan datang kepadamu dalam keadaan merana, dan kau diburu akhirat, dan akhirat begitu rindu…”
“Hai pemburu dunia, tinggalkan dunia, maka dunia memburumu!”, lanjutnya.

Abu Said al-Kharraz ra, mengatakan, “Suatu hari aku di tempat wuquf, lalu aku ingin memohon kepada Allah swt sesuatu kebutuhan. Lantas muncul bisikan lembut tanpa suara kepadaku.”Di hadapanmu Allah, kamu masih mencari selain Allah?”

Ada seseorang menulis surat kepada saudaranya, “Amma Ba’du: “Tamparlah muka para penghasrat dunia dengan dunianya, tamparlah pencari akhirat pada wajah pemburunya. Bermesralah dengan Robbul ‘alamin. Wassalam.”

Abu Abdullah an-Nasaj r.a. mengatakan, “Janganlah menumpuk banyak syurga bagi orang beriman, karena Allah akan memberikan kelayakan yang lebih banyak disbanding syurga, yaitu ma’rifat.”
Seseorang sholat jenazah dengan lima kali takbir. Ditanya kenapa sampai lima kali? “Empat takbiranku untuk si mayit. Dan satu untuk dua rumah (dunia-akhirat)…” katanya.

Kisah terjadi ketika ayat Al-Qur’an dibacakan pada Abu Yazid, “Diantara kalian ada yang berharap dunia, dan diantara kalian ada yang berharap akhirat…” Lalu Abu Yazid berkata, “Mana yang berharap kepada Tuhan?”

Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib kw, berkata kepada Abu Bakr ash-Shiddiq r.a. : “Wahai Khalifah Rasulullah saw, bagaimana anda meraih posisi derajat ini hingga mendahului kami?”
Abu Bakr Shiddiq ara, menjawab, “Dengan lima perkara:”
Pertama : Aku dapatkan manusia dua kelompok; pemburu dunia dan pemburu akhirat, sedangkan aku pemburu Tuhan.
Kedua : Sejak aku masuk Islam, aku tak pernah kenyang dengan makanan dunia.
Ketiga : Aku tak pernah segar minum minuman dunia.
Keempat : Jika muncul di hadapanku dua pilihan amaliah: amal dunia dan amal akhirat, aku pasti memilih amal akhirat.
Kelima : Aku berguru (bersahabat) pada Nabi saw, dan aku senantiasa bersahabat yang sebaik-baiknya.

“Sungguh mulia bagimu wahai Abu Bakr…” kata Sayyidina Ali, kw.


Derajat Arifin (II)

Maka jangan berpaling dariKu, yang menyebabkan putusnya hubungan kesahabatan antara diriKu dan dirimu, karena orang yang benar-benar mengaku sahabat dekatKu jika dibakar oleh api, hatinya sama sekali tidak bergeser dariKu, karena menghormati kebesaranKu.”

Allah swt juga menyebutkan dalam Al-Qur’an, :
“Ketika Tuhannya berkata kepada Ibrahim, “Islamlah”! Ibrahim menjawab, “Aku Islam kepada Tuhannya Semesta Alam.”
Allah swt mengetahui kepasrahan totalnya (Islam) sampai kemudian ia dilempar dalam api.
Abu Abdullah bin Muqotil ra bermunajat:
“Ilahi, janganlah Engkau masukkan diriku ke dalam neraka, karena api pun bisa menjadi dingin padaku karena cintaku kepadaMu.”

Abu Ayyub As-Sikhtiyani ra berkata, “Neraka itu ditakui, bagi mereka yang lupa akan Tuhannya. Lalu dikatakan pada mereka yang lupa itu: “Rasakan semua atas kelalaianmu dalam pertemuan harimu ini…” dengan segenap balasan amalnya.”
Abu Hafsh ra menegaskan, “Saya sangat khawatir atas ma’rifat sebagian orang, yang sudah ditulis di jubah mereka, “Orang-orang merdekanya Allah setelah dikeluarkan dari neraka…” Namun mereka memohon agar tanda tulisan itu dihapus dari mereka. Jika aku jadi mereka, aku sangat memohon agar tanda itu ditulis di seluruh anggota badanku, dan membuatku cukup bangga: “Akulah dari golongan orang yang dimerdekakan dari neraka…!”

Menurutku, apa yang diraih ahli syurga dalam syurganya adalah Robb Ta’ala, kedekatan padaNya, dan memandangNya serta mendengarkan KalamNya.
Ingat isteri Firaun ketika bermunajat:
“Tuhanku, bangunkan rumah bagiku di sisiMu dalam syurga.”

Sebagaimana disebutkan, “Tetangga dulu, baru rumah.”
Ibrahim bin Adham ra, mengatakan, “Aku sangat malu jika tujuan utamaku adalah makhluk, padahal Allah swt telah berfirman kepada sebagian para NabiNya, “Siapa yang berkehendak pada Kami, ia tak ingin selain diri Kami…”
Sebagian Syeikh Sufi mengatakan, “Aku pernah melihat seorang pemuda di Masjidil Haram sedang dalam kondisi menderita dan kelaparan, saya sangat kasihan padanya. Aku punya seratus dinar dalam kantong, lalu kudekati dia. “Hai sayang, ini buat kebutuhan-kebutuhanmu…”

Pemuda itu tidak menoleh sama sekali padaku, dan aku terus mendesaknya. Pemuda itu berkata, “Hai Syeikh, dinar ini sesuatu yang tidak bias aku jual dengan syurga dan seisinya. Syurga itu negeri keagungan, asal sumber keteguhan dan keabadian. Bagaimana aku menjualnya dengan harga yang hina?”
Abu Musa ad-Daylaby, - pelayan Abu Yazid - semoga Allah merahmati keduanya, berkata, “Aku pernah mendengar seorang Syeikh di Bistham mengatakan, “Aku bermimpi, sepertinya Allah swt berfirman: “Kalian semua sedang mencari sesuatu dariKu – selain Abu Yazid – sesungguhnya dia mencariKu dan menghendakiKu, dan Aku pun menghendakiNya.”

Derajat Arifin (I)

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y
Riwayat dari Irman bin Hashin, bahwa sesungguhnya Rasulullah saw, bersabda:
“Dari ummatku bakal masuk syurga tujuh puluh ribu orang tanpa hisab.” Mereka bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Rasulullah saw, bersabda, “Mereka itu adalah orang yang tidak pernah melakukan ruqyah, tidak pernah meramal, tidak pernah berbekam, dan mereka senantiasa tawakkal kepada Allah.” (Hr. Muslim)

Rasulullah saw, memposisikan “ramalan” di urutan kedua, setelah berupaya untuk tidak berobat yang merupakan derajat murni sejati, yang tergolong ahli fana’, dan mereka senantiasa dalam Kehendak Allah swt.

Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada mereka. Namun betapa sedikit jumlah mereka dalam setiap periode. Karena derajat mereka adalah mewujudkan hakikat tawakkal kepada Allah swt. Kepasrahan total yang meliputi seluruh instrument sebab akibat dan kehendak. Merekalah kaum ‘Arifin Billah yang sesungguhnya, semoga Allah meridloi mereka.
Amboi, jika orang ‘Alim itu terbagi dua:
1.) Satu golongan yang membuatku terbebas dari keraguan.
2.) Satu golongan yang menggunting-gunting diriku dari gunting neraka. Tak lebih dan tak kurang mereka itu, dimataku.

Anak-anak sekalian…Ketahuilah orang ‘arif kepada Allah swt dengan ma’rifat yang benar, senantiasa terhanguskan hasratnya di bawah keceriaan dalam WahdaniyahNya. Dan tak ada keceriaan mulai dari Arasy sampai muka bumi yang lebih besar ketibang kegembiraan ma’rifat kepada Allah swt.

Syurga seisinya itu dibanding sisi kegembiraan mereka kepada Allah swt, nilainya sangat kecil, lebih kecil dibanding atom, ketika mereka tahu bahwa ma’rifat adalah kegembiraan paling agung dari segala kegembiraan mana pun.

Siapa yang bertemu Allah swt, maka mana yang tak bisa ditemukan? Kesibukan apalagi yang akan dilakukan setelah bertemu denganNya? Bukankah melihat selain Allah itu tak lebih dari keliaran nafsu belaka? Hasrat yang rendah? Dan minimnya ma’rifat kepada Allah Ta’ala?

Adakah pakaian yang lebih baik dibanding baju Islam? Apakah ada mahkota yang lebih agung ketimbang mahkota ma’rifat? Atau adakah hamparan yang lebih mulia ketimbang hamparan taat?
Allah swt berfirman:
“Katakan, dengan karunia Allah dan dengan rahmatNya, maka dengan karunia dan rahmat itulah kalian semua bergembira…”

Dalam sebagian munajatnya Ibrahim bin Adham ra mengatakan:
“Illahi, Engkau Maha Tahu syurga dan seisinya, rasanya tak melintas padaku walau sesayap nyamuk setelah Engkau beri aku ma’rifat kepadaMu, dan kemesraanku kepadaMu, dan Engkau telah membuatkan mencurah untuk tafakkur atas keagunganMu, serta Engkau telah menjanjikan padaku untuk memandang WajahMu.”

Memang. Sesungguhnya derajat terendah kaum ‘arifin itu, manakala Allah memasukkannya ke dalam neraka yang diliputi adzab, maka hatinya malah tambah cinta kepadaNya, semakin mesra sukacita padaNya, dan semakin rindu kepadaNya.

Ibnu Sirin ra, berkata, “Jika aku harus memilih antara syurga dan sholat dua rakaat, aku memilih sholat dua rakaat. Karena dalam dua rakaat ada ridlonya Allah swt, taqarrub kepadaNya. Sedang dalam syurga yang ada kesenangan nafsu dan kesenangan manusia.”

Ketika Nabi Ibrahim as, dilemparkan ke dalam api, “Mereka mengatakan, bakarlah dia, dan mintalah pertolongan pada Tuhan kalian!” kata mereka.

Nabi Ibrahim as, menjawab, “Cukuplah bagiku Tuhanku dan Dialah sebaik-baik tenmpat berserah diri, sebaik-baik Tuhan dan sebaik-sebaik Penolong.”

Kemudian Allah swt, berfirman, “Wahai api jadilah dirimu dingin sejuk dan menyelamatkan atas Ibrahim.”
Berserah diri Diriwayatkan, ketika Allah swt berfirman kepada Nabi Ibrahim as, “Wahai Ibrahim, engkaulah sahabat dekatKu, dan Aku sahabat dekatmu.

Hari-hari Berkasih-Sayang

Bagi kaum muslim rasa kasih sayang itu tidak melulu terpaku pada satu hari,
yang disebut dengan Hari Kasih Sayang, melainkan setiap harinya harus
dipenuhi rasa kasih sayang.

Kaum muslim semestinya merayakan kasih sayang itu sepanjang hidupnya,
sehingga hidup menjadi bahagia. Visi hidup kaum muslimin berbeda
dibandingkan dengan yang lain, karena tidak saja hanya belajar, bekerja,
menikah, berkeluarga, memiliki keturunan, pensiun, dan meninggal. Lebih
dari itu kaum muslimin juga harus menyiapkan kehidupan akheratnya, yaitu
kehidupan setelah kematian. Bukankah dalam doanya setiap hari adalah
keselamatan dunia dan akherat ("Fidunya Khasanah Wafil Akhirati
Khasanah..") dan kehidupan di dunia ini hakekatnya merupakan sarana untuk
menggapai surganya Allah?

Bagi kaum muslim, ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai
kebahagiaan hidup. Pertama, Mencintai Allah dan Rosulnya di atas
segalanya. Yang ke dua, mencintai keluarga dan sesama mahluk lainnya karena
Allah, sesuai dengan akidah dan akhlak Islam bukan karena hawa nafsu
semata. Dan yang ketiga, takut kepada kekafiran sebagaimana takutnya
siksa api neraka di hari pembalasan nanti.

Jadi, kunci kebahagiaan yang dicari bisa diperoleh apabila sudah
dapat merasakan nikmatnya iman, nikmatnya iman di dapat bilamana
menempatkan Allah dan Rosulnya di atas segalanya.

Tertipu Hawa Nafsu

Seseorang mungkin tinggal di rumah yang besar dengan perabotan yang indah. Ia mungkin memiliki perhiasan, emas dan mobil yang banyak. Tetapi merasa bahwa semua ini akan membuatnya bahagia hanyalah imajinasi saja, bukan kenyataan.

Seseorang mungkin pergi ke kafe, duduk sebentar, minum secangkir teh dan pergi. Yang lain punya kesempatan untuk pergi ke tempat yang lebih mahal, dengan lebih banyak hal-hal menarik yang bisa dinikmati. Dua keadaan tersebut sangat berbeda. Yang kaya membawa beban. Orang yang pertama membayar 50 sen (cukup untuknya). Yang kaya membayar 50 pound, 100 atau 500 pound dan itu akan jadi beban baginya, karena: Beban yang dibawa seseorang tergantung seberapa banyak ia memuaskan hawa nafsu fisiknya.

Yang dilakukan oleh beban terhadap seseorang ibarat penggilingan terhadap gandum (beban akan menggiling orang). Keserakahan akan berujung pada ketidakbahagiaan.

Para rasul dan penerus mereka, para awliya, memberi nasihat agar orang-orang hidup sederhana, dengan kehidupan yang mudah dan beban yang ringan.

Seperti orang yang bepergian tanpa membawa koper-koper. Saat turun dari pesawat ia bisa langsung keluar bandara. Tetapi orang yang membawa koper-koper yang berat, akan kerepotan.

Apakah penderitaan manusia ini?

Orang yang baik akan berbuat kebaikan untuk dirinya, orang yang jahat hanya akan menyusahkan dirinya.

Tuesday 10 February 2009

Apa Ada Kentut Yang Islami ?



Sebuah seminar kaum cendekiawan Muslim sedang berlangsung, membahas Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
“Kita ini sudah waktunya meninggalkan Iptek dari Barat, karena dalam Al-Qur’an sudah lengkap dan sempurna tentang ayat-ayat Iptek,” kata seorang professor dari Gajah Mada University sembari membacakan sejumlah ayat Al-Qur’an tentang Iptek.

Para peserta sangat terkesima dengan paparan Islamisasi yang dicanangkannya, yang dianggapnya sebagai upaya menuju kebangkitan Islam pada 14 Hijriyah ini.
Di tengah-tengah kesima peserta, seorang peserta interupsi.
“Bapak ini ternyata orang munafik!!!...” katanya cukup keras.
Seluruh isi ruangan jadi gemuruh dan gaduh.
“Alasan anda mengatakan bapak professor ini munafik apa?” Tanya moderator.

“Kalau anda meminta ummat Islam meninggalkan Iptek dari Barat dan seluruh konsep Iptek yang datang dari Barat, karena yang serba Barat anda anggap ilmunya kafir, kenapa anda masih menggunakan mikrofon, listrik, otomotif dan kendaraan serta computer dari Barat?”
Suasana jadi gaduh dan gelagapan.

“Tapi kan di Al-Qur’an sudah jelas semuanya. Semuanya pun harus berdasarkan Al-Qur’an…” jawab sang professor Islamisasi tadi.
“Nah, sekarang bapak tidak hanya munafik, tapi telah dzolim…” kata sang peserta….
Suasana tambah riuh, bahkan seperti muncul sambutan tepuk tangan yang bersorak.
“Sebentar…sebentar….Maksudnya bagaimana anda ini kok menuding professor ini munafik dan dzolim…” Tanya moderator kembali.
“Bagaimana tidak munafik, wong sudah jelas minta meninggalkan Iptek Barat, malah anda memakai. Kenapa kita nggak adakan seminar ini di tengah hutan atau di tengah lapangan tanpa mikrofon, kita jalan kaki, atau pakai onta dan kuda saja.”
“Anda sebut dzolim?”

“Ya, karena pak professor tidak faham tafsir Al-Qur’an, tidak memahami kedudukan ayat suci Al-Qur’an, lalu meletakkan ayat Al-Qur’an bukan pada tempatnya. Nah, meletakkan kedudukan ayat suci bukan pada tempat pandangan, itu kan dzolim namanya…”
Lalu sang moderator menyilakan kepada professor untuk membela diri.
“Begini, pokoknya Al-Qur’an itu kebenaran mutlak…pokoknya…pokoknya…pokoknya…” kata professor itu, sembari mempertahankan “pokoknya” yang dihitung oleh peserta tadi sampai hampir 30-an kata “pokoknya…”

“Maaf professor, sekarang gelar anda bertambah. Bukan hanya munafik, dzolim, tapi juga bodoh…”
“Apa alasan anda memberi gelar bodoh pada professor itu?” Tanya moderator.

“Karena kebodohan itu selalu bersembunyi dibalik “pokoknya”. Di dalam “pokoknya” pasti ada hawa nafsu dan emosi. Dalam emosi dan hawa nafsu ada kebodohan…Nanti lama-lama Pak Professor ini membuat paradigma agar kalau kita kentut pun harus Islami. Saya nanti akan muncul pertanyaan, bagaimana bau kentut yang Islami, bunyi kentutnya bagaimana, strateginya kayak apa, dan dalilnya di surat apa..Lalu apa kita akan bikin seminar dengan judul Islamisasi kentut?. ”
Suasana jadi gerrrr. Seminar pun jadi bubar dan bubrah.

Adab Sang Fakir



Oleh Syeikh Abu Nashr as-Sarraj

Al-Junaid rahimahullah berkata:
“Kefakiran adalah lautan bala’ (bencana). Sementara seluruh bencananya adalah kemuliaan.”

Al-Junaid rahimahullah juga berkata:
“Jika ilmu seorang fakir menguat maka cinta (mahabbah)nya akan melemah. Dan jika ilmunya melemah maka cintanya akan menguat. Sedangkan kebijakan hukum seorang fakir seharusnya ilmunya berada di atas cintanya.”

Saya mendengar ad-Duqqi - rahimahullah - yang saat itu berada di Damaskus, berkata: Saya mendengar Abu Bakar az­Zaqqaq-rahimahullah - di Mesir berkata, “Selama empat puluh tahun saya berteman dengan orang-orang fakir. Saya bergaul dengan mereka, tapi saya tidak pernah melihat satu pemandangan pun yang lebih sejuk dari keadaan mereka yang saling mencintai antara satu dengan yang lain.
Maka barangsiapa tidak memiliki taqwa dan wara` (jaga diri dari syubhat) dalam hal ini jelas la akan makan barang yang mesti haram.”
Dikisahkan dari Abu Abdillah al Jalla’ - rahimahullah -yang berkata, “Barangsiapa dalam kefakirannya tidak dibarengi dengan wara`, tentu la akan makan barang haram murni, sedangkan ia tidak menyadarinya.”

Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah - rahimahullah - yang berkata, “Adab seorang fakir yang jujur dalam kefakirannya ada tiga: Tidak meminta di kala la membutuhkan, tidak menolak jika diberi dan tidak menyimpan untuk waktu berikutnya ketika ia mengambil.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Adab seorang fakir yang jujur ada tiga: Tidak meminta, tidak membantah dan jika dibantah akan diam.”
Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah - rahimahullah - yang berkata, “Seorang fakir memiliki tiga kewajiban: Menjaga rahasia hatinya, menunaikan apa yang diwajibkan kepadanya dan menjaga kefakirannya.”

A1 Junaid - rahimahullah - berkata, “Segala sesuatu akan sanggup dilakukan oleh seorang fakir kecuali kesabarannya atas waktu hingga habis masanya.”
Ibrahim al-Khawwash - rahmahullah - berkata, `Ada dua belas sifat yang menjadi ciri seorang fakir (yakni para kaum Sufi), balk ketika sedang di rumah maupun ketika sedang bepergian:
  1. Hendaknya la selalu merasa yakin dan tenang (thuma’ninah) dengan apayang Allah janjikan;
  2. Hendaknya tidakberharap pada makhluk;
  3. Menyatakan perang dan melawan terhadap setan;
  4. Selalu mendengar perintah Allah;
  5. Memiliki rasa sayang kepada semua makhluk;
  6. Sanggup memikul dan bersabar atas semua tindakan makhluk yang menyakitkan dirinya;
  7. Tidak meninggalkan nasihat untuk semua umat Islam;
  8. Hendaknya selalu berendah hati dalam masalah kebenaran;
  9. Selalu sibuk dalam ma’rifat Allah;
  10. Untuk selamanya dalam kondisi suci;
  11. Kefakirannya hendaknya menjadi modal utama; dan
  12. Selalu rela (ridha) terhadap apa yang datang dari Allah; sedikit atau banyak, disukai atau tidak. Semuanya adalah satu, yakni dari Allah. Mereka harus ridha kepada-Nya, bersyukur dan percaya kepada-Nya.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Barangsiapa meminta kefakiran karena ingin memperoleh pahala kefakiran, maka la akan mati dalam kondisi fakir.”

Sebagian kaum Sufi yang lain berkata, “Seorang fakir, apabila banyak akal maka perilaku baiknya akan hilang.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahTmahullah - berkata:
Di antara adab para fakir Sufi dalam menyikapi apa yang diberikan Allah kepada mereka dengan tanpa terlebih dahulu meminta dan berharap hendaknya tidak mengucapkan, “Ini milikku, dan ini milik Anda.” Sementara dalam pembicaraan mereka tidak boleh ada kata-kata, “Aku adalah untuk Anda, sementara Anda bukan untukku. Aku berbuat demikian semoga menjadi demikian. Aku tidak melakukan demikian, semoga demikian.”

Dikisahkan dari Ibrahim bin Syaiban - rahmahullah -yang berkata, “Kami tidak pernah bersahabat dengan orang yang mengatakan, `Ini adalah sandalku dan tempat minumku’.”
Abu Abdillah Ahmad al-Qalanisi-dimana la adalah guru al-­Junaid - berkata, `Aku pernah mendatangi sekelompok orang­orang fakir di Basrah. Kemudian mereka menghormati dan meng­agungkanku. Suatu saat aku pernah mengatakan kepada salah seorang di antara mereka, `Dimana sarungku?’ Maka sejak saat itu aku jatuh dan rendah dalam pandangan mereka.”

Abu Ishaq Ibrahim bin al-Muwallad ar-Raqqi berkata, “Saya pernah masuk di Tharasus. Kemudian dikatakan kepadaku, `Di sini ada sekelompok orang dari saudara-saudara Anda yang ber­kumpul di suatu rumah.’ Kemudian saya masuk menemui mereka, dan saya melihat ada tujuh belas orang fakir yang sehati.”
Dikatakan kepada Abu Abdillah Ahmad al-Qalanisi - rahima­hullah, “Atas dasar apa Anda membangun madzhab Anda?” Kemudian la menjawab, `Atas dasar tiga perkara:
  1. Kami tidak pernah menuntut manusia atas hak-hak kami;
  2. Kami menuntut diri kami sendiri untuk menunaikan hak-hak orang lain; dan
  3. Memastikan diri kami berbuat kealpaan terhadap semua yang kami lakukan.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Kami membangun landasan dasar madzhab kami atas tiga perkara:
  1. Selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan;
  2. Memeluk erat kefakiran; dan
  3. Belas-kasih pada semua makhluk.”
Sementara kaum Sufi yang lain berkata, “Jika Anda melihat seorang fakir telah merosot dari tingkatan hakikat menuju ke tingkatan ilmu (syariat), maka Anda perlu tahu, bahwa ia telah menghapus keinginan kuatnya dan melepas tali pengikatnya.” Ibrahim al-Khawwash - rahimahullah - berkata, “Bukan termasuk adab kaum fakir (kaum Sufi) orang yang masih memiliki sebab (sarana) yang akan dirujuknya kembali ketika la membutuh­kannya, atau memiliki dua tangan untuk melakukan suatu peker­jaan tatkala ia menghendaki, atau lisan yang ia jadikan alat meminta tatkala la lapar, atau keinginan kuat yang la akan pergi kepada orang lain ketika dalam kondisi kesulitan. Dimana semua ini bagi mereka merupakan sarana dan simpanan ketika dalam kondisi krisis dan sarana yang bisa memberi.”

Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Jika Anda berjumpa dengan orang fakir maka sambutlah dengan penuh kasih, dan jangan sambut la dengan ilmu. Sebab kelembutan cdan kasih sayang akan penghiburnya, sedangkan ilmu akan membuat gelisah.” (SN)

Yang Tersembunyi Di balik Semesta



Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary"Allah swt. Maha Mengetahui sesungguhnya dirimu tidak sabar untuk menyaksikanNya, maka Allah swt mempersaksikan padamu apa yang tampak dariNya."

Anda semua memang tidak sabar untuk segera memandang Allah Ta’ala, dan Allah swt, Maha Tahu itu semua, lalu Dia menampakkan ciptaanNya padamu. Anda bisa memandang yang tersembunyi di balik ciptaanNya, maka di sanalah ada aktivitas Illahi, Asma’ dan SifatNya, lalu anda bisa memandangNya dengan Mata Hati. Namun mata kepala terbatas pada ciptaanNya belaka. Itulah yang disebut dengan memandang dibalik hijab. Suatu karomah kemuliaan bagimu sekaligus sebagai pertolonganNya padamu, dimana anda tidak terhijab dariNya di dunia ini.

Dalam hikmah-hikmah terdahulu Ibnu Athaillah As-Sakandary, bahkan mengurai panjang lebar mengenai tidak adanya alasan, seseorang untuk menegaskan bahwa Allah itu terhijab oleh segala sesuatu, karena Allah swt menyertai segala sesuatu, Ada sebelum segala sesuatu ada, bersama segala sesuatu, dan segala sesuatu menuju kepadaNya, kembali kepadaNya, hanya bagiNya. Dia adalah Satu-satunya, dan Dia adalah Yang Maha Dekat dibanding segalanya.

Karena itu beliau juga melanjutkan:
"Ketika Allah swt, Mengetahui adanya kebosanan darimu, maka Allah swt, memberikan ragam warna taat kepadamu. Dan Allah swt, Maha Tahu adanya ambisi dalam dirimu, maka Allah swt membatasinya bagimu dalam sebagian waktu, agar hasratmu adalah menegakkan sholat, bukan wujudnya sholat. Karena tidak setiap orang yang sholat itu adalah penegak sholat."

Manusia itu punya sifat pembosan, rasa berat, rasa sembrono, dan sekaligus punya ambisi. Namun semua itu merupakan tanda akan kelemahan manusia. Oleh sebab itu Allah swt, memberikan ragam dan macam ibadah, dengan waktu yang berbeda, bentuk ibadah yang berbeda pula, agar setiap perpindahan dari satu macam ibadah ke ragam lainnya, tetap bernilai ubudiyah kepada Allah swt.

Namun manusia punya ambisi berlebihan. Karena itu pula Allah memberikan batas-batas waktu agar nikmat Allah swt, terus berlangsung. Dua nikmat dalam peragaman ibadah dan pembatasan waktu ibadah, adalah wujud Kasih SayangNya kepadamu.

Bosan dan ambisi adalah dua sifat yang berbahaya bagi hamba Allah Ta’ala, karena jika dibiarkan akan memanjakan hawa nafsu dan semakin menjauhkan dari Allah swt.

Dengan demikian orientasi para hamba bukan pada wujud ibadahnya, wujud sholatnya, tetapi pada penegakan sholatnya. Tidak semua orang sholat benar-benar menjadi "penegak sholat". Muqimus-sholat berarti menegakkan melalui pemeliharaan lahir batin, hanya Lillahi Ta’ala. Tidak ada bayangan, gambaran, atau imajinasi, bahkan pikiran kemana-mana, selain hanya Allah Ta’ala saja. Itulah sang penegak sholat.