Monday 28 February 2011

Ganja dan Sufi

Asmat, baru saja bertobat. Ia mulai menyadari masa lalunya dengan narkoba menyesatkan dirinya. Ketika mulai masuk dunia Sufi, Asmat justru kembali ke narkoba lagi. “Kamu kok begitu sih Mat? ”tegur kawannya, Darwis.
“Saya lakukan eksperimen, siapa tahu saya berdzikir sambil mengganja, tambah uueeenak, melayang dzikirku…”
“Kamu memang sudah edan makan semir Mat…”
“Coba Wis, kamu coba. Nganja sambil dzikir pasti enak tenan…”
Darwis nggak habis pikir pandangan Asmat yang kontroversial ini.
“Kamu sudah ghurur Mat. Kamu terkena tipudaya…?”
“Bagaimana kamu bilang begitu. Kan banyak orang berdzikir yang dicari nikmatnya dzikir, bahkan kalau perlu bisa nangis-nangis segala…”
“Lhahadala…Itu to yang membuatmu begitu…”
“Jelaskan?”

“Dzikir itu tujuannya agar bertemu Allah, Musyahadah kepada Allah, hadir di depan Allah. Bukan mencari nikmatnya dzikir atau…. Bisa-bisa kamu melayang nggak karuan campur syetan nanti…”
“Campur syetan bagaimana Wis?”
“Kamu nge-ganja, pasti kamu mengkhayal. Sedangkan hatimu tidak ingin sama sekali bersenang-senang dengan kenikmatan khalamu, hatimu hanya sedang mengingat Allah, bagaimana bisa nyampe pada Allah, kalau yang kau unggulkan, kau senangi selera nafsumu?”
Asmat bengong lagi….

“Sudah begini saja, teruskan nge-ganjamu. Apa kamu nanti bisa bertemu Allah atau bertemu syetan…Coba! Nanti kalau kamu dicabut nyawamu saat kamu nge-ganja sambil dzikir, kamu husnul khotimah apa su’ul khotimah, saya nggak mau ikut-ikut akh…”
Asmat lalu menyedot sekuat-kuatnya ganja yang di tangannya. Semakin lama ia mengkhayal semakin bergentar jantungnya, semakin gelisah dan gundah jiwanya. Diam-diam ia bisa membedakan mana hasrat nafsu dibalik ibadah, hasrat nafsu dengan kemanjaan dan khayalan, dan hasrat hati yang sesungguhnya.
“Wiisss…! Darwiiiiiiiisss! Kamu dimana Wis!...”
Asmat berteriak sekencang-kencangnya.
“Aku sejak tadi disini Mat. Di dekatmu….”
Asmat terkejut dan mulai menangis sesenggukan.

Maulid yang Bercahaya

Maulid Nabi saw, terus diperingati. Semangat cinta pada Sang Nabi saw, tak lekang oleh krisis dan situasi, tak surut oleh godaan orang yang membid’ahkan maulid, tak retak oleh keragaman orang yang merayakannya.
Namun cinta kepada Nabi, adalah cinta kepada Allah swt.

Membuktikan cinta itu haruslah mengikuti jejak Nabi, baik secara lahir, secara batin maupun sampai jati diri rahasia batin. Bahkan kita masuki cahaya Nabi, kita menjadi cermin dari cahayanya, sekadar pantulan cahaya agungnya, agar kita benar-benar bergabung dengan Nabi kita. Makanya gemuruh sholawat dan salam kepadanya, beratus-ratus, beribu-ribu, bahkan bersama bermilyar bibir yang bergetar dengan sholawat. Allah, para Malaikat dan mereka yang beriman.

Siapa pun di dunia ini tak berhak menghalangi cinta kepadanya. Siapa pun tak berhak melarang mencintainya. Apa pun alasannya.Karena itu esensi Maulid bukan sekadar perayaan, apalagi bertakjub riya dengan hingar bingarnya. Esensinya pada peneladanan jejaknya, dan segalanya akan menjadi ringan jika harapannya hanyalah Allah, hari akhir dan dzikir.

Jangan biarkan Maulid demi Maulid berlalu tanpa makna, tanpa perubahan diri menuju lebih dekat kepadaNya. Jika demikian adanya, apalah makna cahaya yang membias pada diri kita?

Do'a

Allah swt, bergegas menjawab para pendo’a, “Berdoalah padaKu, maka Aku Ijabah bagimu."
Ada yang salah atas doa-doa kita? Bunyi doa kita sudah bagus, munajat kita sangat indah, namun barangkali hati kita tidak beradab ketika berdoa.
Rupanya, doa kita tak lebih dari memaksa Allah untuk menuruti selera kita. Doa kita tak lebih dari mengatur takdir Allah atas kehidupan dunia akhirat kita. Doa kita lebih banyak memanfaatkan suasana terjepit belaka, untuk merajuk padaNya, bahkan tak lebih dari protes kita padaNya.

Semoga doa-doa seperti itu telah menjadi masa lalu kita. Sedangkan doa di masa depan kita adalah doa sebagai wujud kehambaan kita yang sangat butuh, sangat lemah, sangat hina dan tak berdaya.
“Janganlah rasa sukamu atas doamu adalah ketika ditunaikan hajatmu, bukan karena engkau ditakdirkan bisa munajat kepadaNya...” demikian kata Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily.

Semoga itu, masa depan doa kita. Karena doa lebih utama dibanding terkabulnya doa. Karena dalam doa ada munajat komunikatif dan interaktif dengan Allah swt.