Thursday, 27 September 2012

Sikap Benar Terhadap Urusan Allah

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily :
Barangsiapa  memutuskan diri untuk tidak mengurus dirinya dan melimpahkan urusannya pada Allah; memutuskan pilihannyahanya pada pilihan Allah;  memutuskan pandangannya  hanya memandang Allah;  memutuskan kebaikannya hanya pada ilmu Allah disebabkan oleh disiplin kepatuhan dan ridhanya; kepasrahan total dan  tawakalnya pada Allah;

maka Allah benar-benar menganugerahkan kebaikan  nurani hati, yang juga disertai dengan dzikir, tafakkur dan hal-hal lain yang sangat istimewa.

(Syeikh Abul Hasan berkata pada salah satu muridnya): Aku melihatmu senantiasa mengekang nafsumu dan menarik perkaramu dalam memerangi nafsumu itu. Engkau wahai Luka’ bin  Luka’, maksudku dengan itu menyatakan dua nafsu, terhadap leluhur dan pada anak-anak.  Engkau ditindih oleh ikut mengatur urusan (yang bukan urusanmu), hingga sampai pada suapan yang engkau makan dan  minuman yang engkau teguk, juga dalam ucapan yang engkau katakan atau engkau diamkan. Lalu dimana posisimu di hadapan Yang Maha Mengatur, Maha Tahu dan Maha Mendengar lagi Melihat; Maha Bijaksana lagi Maha Waspada, Yang Maha Agung Keagungan-Nya dan Maha Suci Asma’-asma’-Nya? Bagaimana bisa Dia disertai oleh yang lain-Nya? Karena itu bila engkau menghendaki sesuatu yang akan engkau lakukan atau engkau tinggalkan, maka berlarilah kepada Allah menghindari semua itu, maka Allah pun akan menyingkirkanmu dari neraka. Jangan mengecualikan sedikitpun. Tunduklah kepada Allah, kembalikan  dirimu kepada Allah. Sebab Tuhanmu mencipta apa  yang dikehendaki-Nya dan memilihkan.

Hal demikian tidak akan kokoh kecuali pada orang yang benar atau seorang wali. Orang yang benar adalah orang yang mengikuti aturan hukum. Sedangkan wali orang yang tidak mempunyai  aturan hukum. Orang yang benar bersama hukum Allah, sedangkan wali, fana’ dari segala sesuatu bersama Allah.

Sementara para Ulama ikut mengatur dan memilih, menganalisa dan mengiaskan. Mereka dengan segenap akal dan sifatnya senantiasa demikian. Sedangkan para syuhada’ terus menerus mengendalikan dan berjuang, mereka berperang, membunuh dan dibunuh, dan mereka hidup dan ada pula yang mati. Mereka dihadapan Allah tetap hidup walaupun secara indera dan fisik tidak ada.

Adapun orang-orang shaleh, jasad mereka disucikan sedangkan rahasia batin mereka menggigil dan tegang. Tidak relevan untuk menjelaskan kondisi ruhani mereka kecuali bagi orang yang benar pada awal langkahnya atau bagi wali pada akhir tahapnya. Engkau cukup melihat apa yang tampak pada lahirnya berupa kebajikan-kebajikan mereka, dan jangan berupaya   menjelaskan kondisi batin mereka. Kalau engkau inginkan suatu perkara yang hendak engkau lakukan atau engkau tinggalkan, kembalilah kepada Allah, seperti yang kukatakan kepadamu. Mohonlah pertolongan kepada Allah dan kembalikan dirimu pada-Nya. Ucapkanlah:

“Wahai Yang Awal, wahai Yang Akhir, wahai Yang Akhir, aku memohon demi kebenaran namaku pada Asma-Mu, dan sifatku pada Sifat-Mu, dan urusanku pada Urusan-Mu, pilihanku pada Pilihan-Mu, jadikanlah bagiku sebagaimana engkau berikan kepada wali-wali-Mu (Dan masukkan diriku)dalam berbagai hal (pada jalan masuk yang benar, dan keluarkanlah diriku tempat keluar yang benar, dan berikanlah padaku, dari sisi-Mu, kekuasaan yang menolong). Takutlah dirimu untuk bersangka buruk kepada Allah:  “Bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”

Aku pernah melihat, seakan-akan diriku duduk dengan salah seorang muridku di hadapan guruku —semoga Allah merahmatinya—, lalu guruku berkata, “Jagalah empat hal dariku. Tiga untukmu dan yang satu untuk orang yang kasihan ini:

Janganlah engkau berusaha memilih persoalanmu sedikitpun, pilihlah untuk tidak memilih.

Berlarilah dari semua upaya memilih itu. Penghindaran pilihanmu pada segala sesuatu, semata untuk menuju kepada Allah. “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang  dikehendaki-Nya dan memilih apa yang terbaik bagi mereka.”

Setiap pilihan-pilihan syariat dan tata aturannnya, maka itulah pilihan Allah, engkau tidak memiliki kompetensi di dalamnya, dan engkau harus patuh pada-Nya, simak dan taatlah. Itulah posisi Pemahaman Ilahi (fiqhul-Ilahy) dan Ilmu Ilhami (ilmul-ilhamy). Itulah bumi ilmu hakikat yang diambil dari Allah bagi orang yang bertindak lurus. Fahami dan baca, serta berdoalah kepada Tuhanmu, sesungguhnya engkau berada dalam petunjuk yang lurus. Namun apabila mereka membantahmu, katakanlah, Allah Maha Tahu atas apa yang kalian semua ketahui.

Engkau harus tetap zuhud di dunia dan bertawakal kepada Allah. Sebab zuhud itu merupakan fondasi amal, dan tawakal merupakan modal dalam berbagai tingkah laku ruhani.  Bersaksilah kepada Allah dan berpegang teguhlah dalam ucapan-ucapan, tindakan-tindakan, akhlak, dan tingkah laku ruhani. “Barangsiapa berpegang teguh kepada Allah, maka benar-benar ia diberi petunjuk ke  jalan lurus.”

Takutlah untuk bersikap ragu, syirik, tamak, dan berpaling dari Allah demi sesuatu. Sembahlah Allah atas dasar agungnya kedekatan, engkau akan mendapatkan kecintaan dan keistimewaan pilihan, kekhususan dan kewalian dari Allah. “Allah adalah Wali bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Sedangkan —untuk lelaki yang perlu dikasihani ini— faktor yang menyebabkan putusnya hubungan ketaatan dengan Allah, dan hatinya yang terhijabi dari bukti-bukti ketauhidan, ada dua perkara:

Pertama ia masuk dalam pekerjaan dunianya dengan cara ikut campur mengaturnya. Kedua dalam amal akhiratnya dipenuhi keraguan atas anugerah-anugerah Ilahi Sang Kekasih. Sehingga Allah menyiksanya lewat hijab, dan terus menerus dalam keraguan, serta melalaikannya akan hisab kelak, lalu ia terjerumus  dalam lautan tadbir dan takdir (ikut campur aturan dan takdir Allah). Lalu ia mendekati dengan kewaspadaan yang kotor. Apakah kalian semua tidak bertobat kepada Allah dan mohon ampunan kepada-Nya, sedangkan Alllah itu Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. Karena itu kembalilah pada Allah berkaitan dengan prinsip-prinsip pengaturan dan takdir, engkau akan mendapatkan  limpahan kemudahan, antara dirimu dengan kesulitan yang ada akan terhapuskan. Setiap ke-wira’i-an yang tidak membuahkan ilmu dan nur, maka ke-wira’i-an itu sama sekali tak berpahala. Sedangkan setiap kemaksiatan yang diikuti oleh rasa takut dan berlari kepada Allah, janganlah engkau anggap sebagai dosa.
Ambilah rizkimu menurut pilihan Allah bagimu dengan mengamalkan ilmu dan mengikuti sunnah Nabi Saw.
Engkau jangan naik ke tahap berikutnya sebelum Allah menaikkan dirimu, sebab dengan tindakanmu itu telapak kakimu bisa tergelincir.
Suatu ketika aku berhasrat pada sedikit saja dari dunia, tidak banyak, lantas aku mengurungkan dan mengkhawatirkan jika hal itu termasuk adab yang buruk (su’ul adab). Aku bergegas kepada Tuhanku, dan ketika tidur aku bermimpi, seakan-akan Nabi Sulaiman as. sedang duduk di atas tempat tidur, sementara di sekelilingnya banyak pasukan.  Beliau menyodorkan periuk dan piringnya. Aku melihat suatu hal yang telah  disifatkan Allah dalam firman-Nya: “dan piring-piring yang besarnya seperti kolam dan  periuk-periuk yang tetap (di atas tungkunya).” (Q.s. Saba’: 13). Lalu tiba-tiba ada yang memanggilku, “Janganlah engkau memilih sedikitpun disisi Allah, namun jika engkau memilih sebagai ubudiyah semata bagi Allah dalam rangka mengikuti Rasulullah Saw. ketika bersabda: “Sebagai hamba yang bersyukur” yakni  sebagai Rasul. Kalau toh pun harus memilih, pilihlah untuk tidak memilih. Dan larikanlah pilihanmu itu pada pilihan Allah.”

Aku terbangun dari tidurku, lalu kulihat ada yang berkata padaku, “Sesungguhnya Allah telah memilihkanmu untuk berdoa:

“Ya Allah luaskanlah rizki padaku dari duniaku, dan janganlah engkau jadikan hijab dengannya (rizki dunia) itu terhadap akhiratku. Jadikanlah tempatku di sisi-Mu selamanya dihadapan-Mu, senantiasa memandang dari-Mu kepada-Mu. Tampakkanlah Wajah-Mu dan tampakkanlah padaku dari penglihatan dan dari segala sesuatu selain-Mu. Hapuskanlah penghalang antara diriku dengan Diri-Mu. Wahai Dzat, yang Dia adalah Maha Awal, Maha Akhir, Maha  Dzahir, Maha Batin, dan Dia adalah Maha Tahu atas segala sesuatu.”

Manusia paling celaka adalah manusia yang menghalangai diri pada Tuhannya, dan mengambil alih urusan duniawinya, sementara ia alpa akan prinsip dan tujuan, serta amal akhiratnya.

sufinews

Wednesday, 26 September 2012

Rukun-Rukun Tarekat

Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani

Rukun-rukun (sendi-sendi) tarekat ada empat: Lapar, mengasingkan diri dari makhluk (uzlah), tidak tidur di malam hari, dan mempersedikit pembicaraan. Bila seorang murid mampu menahan lapar, maka tiga poin berikutnya secara khusus akan mengikuti. Sebab orang yang lapar akan sedikit berbicara, tahan tidak tidur di malam hari dan senang menghindarkan diri dari orang. Mereka mengungkapkan sendi-sendi dasar tersebut dalam bentuk bait syair:

[I]Para tuan mulia dari kaum abdal kami
telah membagi rumah kewalian menjadi beberapa sendi:
antara diam dan selalu mengasingkan diri, lapar dan tidak tidur, adalah pilihan yang tertinggi.[/I]

Abu al-Qasim al-Qusyairi —rahimahullah— mengatakan: “Sesungguhnya dasar utama pintu menuju tarekat adalah lapar. Sebab mereka tidak akan mendapatkan sumber hikmah kecuali dengan lapar.” Mereka secara bertahap mengurangi makan sedikit demi sedikit, sampai akhirnya hanya sesuap dalam setiap harinya. Sebagian dari mereka ada yang hanya satu biji kurma kering atau anggur kering. Sementara itu Abu Utsman al-Maghribi makan setiap enam bulan sekali. Syekh Muhyiddin Ibnu al-Arabi mengatakan dalam al-Futuhat al-Makkiyyah: “Sebagaimana cerita yang telah sampai pada kami, bahwa Allah Swt. ketika menciptakan nafsu, maka Dia bertanya kepadanya, ‘SiapaAku ini?’ Maka nafsu menjawab, ‘Lalu siapa aku ini?’ Akhirnya ia ditempatkan dalam lautan kelaparan selama empat ribu tahun, kemudian Allah bertanya kembali, ‘Siapa Aku?‘ Ia baru sadar dan mengakui Tuhannya sembari menjawab, ‘Engkau adalah Tuhanku’.”

Sahl bin Abdullah at-Tustari tidak akan makan kecuali setelah lima belas hari. Dan ketika masuk bulan Ramadan, ia tidak makan sebelum melihat bulan sabit satu Syawal. Setiap malam bulan Ramadan ia hanya berbuka dengan air agar bisa keluar dari larangan menyambung (wishal) puasa. Ia pernah berkata: “Ketika Allah menciptakan dunia, Dia menjadikan ilmu dan hikmah berada dalam kelaparan, dan menjadikan kebodohan dan maksiat berada dalam kekenyangan.” Ketika dalam kondisi lapar ia menjadi kuat, dan ketika dalam kondisi kenyang ia menjadi lemah tak berdaya.

Abu Sulaiman ad-Darani berkata: “Kunci dunia adalah kekenyangan, dan kunci akhirat adalah kelaparan.” Yakni kegiatan masing-masing.

Yahya bin Mu’adz ar-Razi berkata: “Kekenyangan adalah api, sedangkan syahwat (kesenangan) ibarat kayu bakar. Dari situ akan muncul kebakaran, dan apinya tidak bisa padam sehingga yang bersangkutan ikut terbakar.”

Sahl bin Abdullah at-Tustari berkata: “Barangsiapa ingin makan setiap harinya dua kali maka hendaknya membangun tempat makanan untuknya.”

Malik bin Dinar —rahimahullah— berkata: “Barangsiapa ingin agar setan lari dari bayang-bayangnya maka hendaknya memaksa syahwatnya.” Sementara itu ucapan-ucapan para salaf seperti itu cukup banyak. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.

Diantara perilaku yang harus dilakukan munid, hendaknya selalu berpegang teguh dengan adab (kesopanan) ketika berhadapan dengan Allah, ketika bersama para wali Allah dan saudara-saudaranya. Jangan sampai memberikan kesempatan sama sekali kepada nafsu (diri)nya untuk berbuat yang menyalahi kesopanan (su‘ul-adab).

Abu Ali ad-Daqqaq —rahimahullah— berkata: “Seorang hamba dengan ibadahnya bisa sampai ke surga, tapi ia tidak bisa sampai ke hadirat Tuhannya kecuali beradab ketika sedang beribadah. Barangsiapa tidak bisa memelihara adab dalam ketaatannya maka ia akan terhalang dari Tuhannya oleh tujuh puluh lapis penghalang (hijab).” Ad-Daqqaq tidak pernah bersandar pada apa pun seperti bantal atau dinding kecuali dalam kondisi sangat darurat, dimana ia pernah mengemukakan tentang apa yang ia lakukan itu, “Bahwa bersandar pada sesuatu merupakan tindakan yang tidak sopan.”

Abdullah bin al-Jalla’ berkata: “Barangsiapa tidak memiliki adab (kesopanan) maka ia tidak memiliki syariat, tidak punya iman dan tauhid.” Yakni secara sempurna.

Ibnu ‘Atha’ berkata: “Seorang murid belum dikatakan beradab sehingga ia merasa malu kepada Allah untuk duduk berselonjor di depan-Nya, baik di waktu malam maupun siang hari.”

Al-Hanizi mengatakan: “Aku tidak pernah duduk berkhalwat (menyendiri) dengan duduk berselonjor selama dua puluh tahun.” Ia juga berkata: “Adab secara syariat bersama Allah Swt. dalam segala perkara tentunya lebih diprioritaskan bagi orang yang berakal. Sementara itu dalam syariat tidak pernah ada penjelasan secara gamblang tentang adab pada masalah tersebut.”

Ia juga pernah berkata: “Apabila seseorang bermuamalah dengan para penguasa dunia tanpa menggunakan adab (kesopanan) akan mengakibatkan dirinya terbunuh, lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki kesopanan ketika bersama al-Haq Azza wa Jalla dan berani melanggar apa yang menjadi larangan-Nya?” Ia juga pernah berkata: “Meninggalkan adab bisa mengakibatkan terusir. Maka barangsiapa tidak memiliki adab ketika sedang berada di hamparan tempat duduk maka ia akan diusir menuju ke pintu, dan barangsiapa tidak memiliki adab ketika sedang di pintu maka ia akan diusir ke orang-orang yang memelihana binatang ternak”

Imam asy-Syafi’i —rahimahullah— berkata: “Imam Malik —rahimahullah— pernah berkata kepadaku, ‘Wahai Muhammad, jadikan ilmumu sebagai garam, dan adabmu sebagai tepungnya’.”

Abdurrahman bin al-Qasim —rahimahullah— berkata: “Aku pernah bersahabat dengan Imam Malik selama dua puluh tahun, maka dalam rentang waktu tersebut selama delapan belas tahun ia gunakan untuk mengajar adab, sedangkan sisanya, dua tahun ia gunakan untuk mengajar ilmu. Maka aku berharap andaikan dua puluh tahun itu seluruhnya bisa aku gunakan untuk mengajar adab.”

Asy-Syibli —rahimahullah— berkata: “Diantara ciri-ciri orang-orang yang berada di hadirat Allah adalah tidak pernah tercebur dalam ketidaksopanan sekalipun suatu kesenangan. Maka isyarat-isyarat yang datang dari al-Haq bisa terjadi secara rahasia (sirri) dan terang-terangan. Sebab hadirat al-Haq Azza wa Jalla adalah hadirat adab, kebisuan, keagungan dan penuh rasa takut, maka tidak sepantasnya merasa senang karena tidak sebanding. Bahkan kalau misalnya seorang wali bisa tinggal di hadirat ini selama usia Nabi Nuh a.s. maka hanya akan menambah rasa takut sepanjang waktu. Hal itu terjadi karena tajalli (penampakan Diri) al-Haq Swt. tidak akan terulang. Maka setiap tajalli yang datang kepada seorang hamba maka yang bersangkutan hanya layak untuk menunjukkan kesopanan pada hadirat tersebut. Maka pahamilah!”

Abu al-Husain an-Nun —rahimahullah— berkata: “Barangsiapa tidak beradab dalam setiap waktu maka ia terkutuk”

Dzun-Nun al-Mishri —rahimahullah— berkata: “Barangsiapa mencari keringanan untuk meninggalkan adab maka ia akan kembali pada posisi di mana ia datang pertama kali.”

Tuan Guru Muhammad asy-Syanawi —rahimahullah— berkata: “Seorang murid ketika ia masuk ke dalam tarekat, ibarat sebutir benih yang baru akan tumbuh. Dan ketika ia tercebur pada ketidaksopanan setelah ia masuk maka ia ibarat sebutir benih yang baru tumbuh separo lalu dilempar sehingga mati dan tidak ada seorang pun yang mau menerimanya.” — Dan hanya Allah Yang Mahatahu..

sufinews