“Tiada amal yang lebih diharapkan untuk diterima ketimbang amal yang sirna dari pengakuanmu padanya, dan hina wujudnya di sisimu.” (Al-Hikam)
Maksudnya, tak ada amal yang memberikan manfaat bagi anda, dan memberikan harapan bagi hati anda, berupa pencerahan qalbu, kema’rifatan dan keparipurnaan, pahala dan lain sebagainya, dibanding amal yang
membuat anda tidak merasa beramal karena yang anda saksikan adalah selain diri anda (Allah). Sehingga anda tidak memiliki pengakuan bahwa anda yang berbuat amaliyah itu, karena sesungguhnya Allah yang berbuat. Bukan anda.
Dari situ pula anda memandang apa yang anda lakukan sangat kurang, masih penuh dengan cela dan cacat, bahkan anda menjadi sangat hina di sana, sangat teledor akan perintah Allah selama ini.
Dalam konteks diterimanya amal, salah satu indikasinya anda justru tidak merasa berbuat, karena tanpa anugerah Allah, anda tidak bisa berbuat kebajikan. Di sinilah manusia dibagi tiga kategori dalam hal berbuat baik.
1) Manusia yang tidak melihat pada amal perbuatannya,
2) Orang yang merasa sangat hina dengan amaliyahnya, karena belum pantas di hadapan Allah, dan
3) Orang yang mengintegrasikan keduanya.
Kemudian beliau melanjutkan soal anugerah yang mendahului amal kita., dengan menekankan sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah mendatangkan warid kepadamu agar dengan warid itu anda sendiri menjadi waridnya.”
Warid adalah kejutan yang turun dalam hati, yang mengeliminasi seluruh kebisaan hati menjadi tempat mengalirnya anugerah Ilahi. Sehingga dengan warid tersebut posisi hamba menjadi warid bagi Tuhannya, lalu seluruh amaliyah bathiniyahnya pun terasa tidak tampak, karena yang berperan adalah Allah.
Apa pun gerak gerik kebajikan lahiriyah maupun bathiniyah kita jangan sampai kita lihat atau kita saksikan. Yang mesti kita lihat adalah penggerak, dan pembuat amal kebaikan itu, dibalik amal. Disinilah Allah menyelamatkan kita dari sikap takjub terhadap amal, karena pembuat dan penggerak amal itu adalah Allah, bukan kita.
Syeikh Zaruq menyimpulkan bahwa faidah Warid itu ada tiga:
1)Datang kepada Allah tanpa sebab akibat dari diri,
2) Keluar dari penyembahan terhadap alam semesta secara global, dan
3) Keluar dari penjara nafsu tanpa henti.
Nah hal ini ditegaskan dalam hikmah berikut:
“Allah mendatangkan warid kepadamu agar Allah menyelamatkan dirimu dari belenggu tipudaya dan perbudakan dunia.”
Dengan warid dari Allah, bukan darimu, berarti anda tidak memiliki ketergantungan selain Allah. Selain Allah adalah tipudaya yang tidak bisa dijadikan sandaran maupun tempat bergantung. Inilah hakikat kebebasan, karena sang hamba terbebaskan dari belenggu perbudakan, hanya kepada Tuhannya saja satu-satunya yang mengikatnya, bahkan tak ada hasrat selain kepadanya selamanya.
Kemudian Ibnu Athaillah mengingatkan faidah ketiga:
“Sesungguhnya Allah menurunkan warid kepada agar kamu keluar dari penjara wujudmu menuju hamparan musyahadahmu kepadaNya.”
Anda adalah orang yang terpenjara melalui liputan yang menyelubungi anda. Begitu juga anda dibatasi dalam eksistensi dzat anda sepanjang anda belum dibuka ke hamparan lapang yang luas. Karena itu ketika cahaya Warid itu muncul yang meliputi seluruh wujud, anda pun tidak mengenal dunia dan akhirat dan lainnya. At-Tustari menyebutkan “Disaat Allah mencerahkan ilhamku, Allah menyelubungiku dan aku mendekatkan diri dari kedekatan “Engkau Melihatku”.
Maksudnya sejak ia ma’rifat kepada Allah, yakni ma’rifat Lillah dari Allah. Karena Allah swt adalah yang Maha Tahu manakah awliya’nya.
No comments:
Post a Comment