Saturday, 26 April 2008

Tiga Nasehat

Pada suatu hari ada seseorang menangkap burung. Burung  itu
berkata kepadanya, "Aku tak berguna bagimu sebagaitawanan.
Lepaskan saja aku, nanti kuberi kau tiga nasehat."

Si Burung berjanji akan memberikan nasehat pertama ketika
masih berada dalam genggaman orang itu, yang kedua akan
diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon,dan yang
ketiga ia sudah mencapai puncak bukit.

Orang itu setuju, dan meminta nasehat pertama.

Kata burung itu,

"Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun kau menghargainya
seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal."

Orang itupun melepaskannya, dan burung itu segera melompat
ke dahan.

Di sampaikannya nasehat yang kedua,

"Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal,
apabila tak ada bukti."

Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia
berkata,

"O manusia malang! diriku terdapat dua permata besar,kalau
saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya!"

Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun
katanya, "Setidaknya, katakan padaku nasehat yang ketiga
itu!"

Si Burung menjawab,

"Alangkah tololnya kau, meminta nasehat ketiga sedangkan
yang kedua pun belum kaurenungkan sama sekali! Sudah
kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan
jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal.Kini
kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak
masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku toh tidak cukup
besar untuk bisa menyimpan dua permata besar!

Kau tolol. Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam
keterbatasan yang disediakan bagi manusia."

Catatan

Dalam lingkungan darwis, kisah ini dianggap sangat penting
untuk "mengakalkan" pikiran siswa Sufi, menyiapkannya
menghadapi pengalaman yang tidak bisa dicapai dengan
cara-cara biasa.

Di samping penggunaannya sehari-hari di kalangan Sufi,kisah
ini kedapatan juga dalam klasik Rumi, Mathnawi.Kisah ini
ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Attar,salah seorang
guru Rumi.Kedua pujangga itu hidup pada abad ke tiga belas.

Bayazid dan Orang Bodoh





Pada suatu hari, seseorang mengomel kepada Bayazid, seorang
ahli mistik pada abad kesembilan, mengatakan bahwa ia telah
berpuasa dan berdoa dan berbuat segalanya selama tiga puluh
tahun namun tidak juga menemukan kesenangan seperti yang
digambarkan Bayazid. Bayazid menjawab, orang itu bisa saja
melanjutkan perbuatannya tiga ratus tahun lagi tanpa
mendapatkan kesenangan juga.

"Mengapa begitu?" tanya Si Sok-Saleh.

"Sebab kesombonganmu merupakan halangan utama bagimu."

"Coba katakan apa obatnya."

"Obatnya tak akan bisa kau laksanakan."

"Bagaimanapun, katakan sajalah."

Bayazid pun berkata, "Kau harus pergi ke tukang pangkas
rambut untuk mencukur janggutmu, (yang terhormat, itu).
Lepaskan semua pakaianmu dan kenakan korset. Isi sebuah
kantong kuda dengan kenari sampai penuh, lalu gantungkan di
lehermu. Pergilah ke pasar dan berteriaklah, 'akan kuberikan
sebutir kenari kepada setiap anak yang memukul tengkukku.'
Kemudian lanjutkan perjalananmu ke sidang pengadilan agar
semua orang menyaksikanmu."

"Tetapi aku tak bisa melakukan itu; coba katakan cara lain
yang sama manfaatnya."

"Itu langkah pertama, dan satu-satunya cara," kata Bayazid,
"Tetapi sudah aku katakan kepadamu bahwa kau tak akan bisa
melakukannya; jadi tak ada obat bagimu."

Catatan

Al-Ghazali, dalam Alkemia Kebahagiaan, mempergunakan ibarat
ini untuk menekankan pernyataan yang sering diulang-ulangnya
bahwa sementara orang, betapapun jujur tampaknya usaha
mencari kebenaran itu bagi dirinya sendiri -dan bahkan
mungkin juga bagi orang lain- nyatanya kadang-kadang didasari
kesombongan atau mencari untung sendiri, hal-hal yang
merupakan halangan utama bagi pencarian kebenarannya.

Tobat gara-gara kertas


Kita sangat mengenal seorang sufi besar, Bisyr bin al-Harits
al-Hafi (150–227 H). Awal mula ia bertobat dan memasuki dunia sufi, sebenarnya gara-gara secarik kertas yang tercecer dan diinjak banyak orang. Ia melihat kertas itu dengan hati yang sangat antusias. Sebab pada kertas itu ada tulisan Nama Allah. Lalu kertas itu ia ambil, bahkan kertas itu ia beli dengan harga satu dirham. Kemudian kertas itu ia bersihkan sampai bersih, lantas ia letakkan di celah-celah sebuah tembok.

Malamnya Bisyr al-Hafi bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berkata padanya, “Wahai Bisyr, engkau telah membersihkan nama-Ku, sungguh Aku bakal membersihkan namamu (tergolong orang yang baik-- red) di dunia dan di akhirat.”
Sejak mendengar kata-kata itu, Bisyr bertobat dan menjadi sufi, bahkan tergolong tokoh sufi yang disegani di dunia.

Tiket ke Syurga


Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.
“Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
“Apa yang sudah anda lakukan?”
“Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
“Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Pemuda itu diam…lalu berkata,
“Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”

“Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”
“Saya sendiri…hmmm….”
“Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
“Jelas dong tuan…”
“Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.
“Mana mungkin di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
“Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”
“Toloong diperjelas…”

“Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
“Lho kenapa?”
“Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
“Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda?
Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”

Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…”

“Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.

Sekalian Saja Bawa Semuanya

Nasruddin pernah bekerja pada seorang yang sangat kaya, tetapi seperti biasanya ia mendapatkan kesulitan dalam pekerjaannya. Pada suatu hari orang kaya itu memanggilnya, katanya, "Nashruddin kemarilah kau. Kau ini baik, tetapi lamban sekali. Kau ini tidak pernah mengerjakan satu pekerjaan selesai sekaligus. Kalau kau kusuruh beli tiga butir telur, kau tidak membelinya sekaligus. Kau pergi ke warung, kemudian kembali membawa satu telur, kemudian pergi lagi, balik lagi membawa satu telur lagi, dan seterusnya, sehingga untuk beli tiga telur kamu pergi tiga kali ke warung."

Nashruddin menjawab, "Maaf, Tuan, saya memang salah. Saya tidak akan mengerjakan hal serupa itu sekali lagi. Saya akan mengerjakan sekaligus saja nanti supaya cepat beres."

Beberapa waktu kemudian majikan Nashruddin itu jatuh sakit dan ia pun menyuruh Nashruddin pergi memanggil dokter.Tak lama kemudian Nashruddin pun kembali, ternyata ia tidak hanya membawa dokter, tetapi juga bebarapa orang lain.
Ia masuk ke kamar orang kaya itu yang sedang berbaring di ranjang, katanya, "Dokter sudah datang, Tuan, dan yang lain-lain sudah datang juga." "Yang lain-lain? Tanya orang kaya itu. "Aku tadi hanya minta kamu memanggil dokter, yang lain-lain itu siapa?"

"Begini Tuan!" jawab Nashruddin, "Dokter biasanya menyuruh kita minum obat. Jadi saya membawa tukang obat sekalian. Dan tukang obat itu tentunya membuat obatnya dari bahan yang bermacam-macam dan saya juga membawa orang yang berjualan bahan obat-obat-an bermacam-macam. Saya juga membawa penjual arang, karena biasanya obat itu direbus dahulu, jadi kita memerlukan tukang arang. Dan mungkin juga Tuan tidak sembuh dan malah mati. Jadi saya bawa sekalian tukang gali kuburan."

Memiliki Mimpi Terindah

Nasruddin mengenakan jubah sufinya dan memutuskan untuk melakukan sebuah pengembaraan suci. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang yogi dan seorang pendeta.

Mereka bertiga sepakat membentuk tim. Ketika sampai di sebuah perkampungan, kedua teman seperjalanan meminta Nasruddin untuk mencari dana, sementara mereka berdua berdakwah. Nasruddin berhasil mengumpulkan uang yang kemudian dibelanjakannya untuk halwa.

Nasruddin menyarankan agar makanan itu segera dibagi, tapi yang lain merasa belum terlalu lapar sehingga diputuskan untuk membaginya pada malam harinya saja.

Mereka bertiga melanjutkan perjalanan. Dan ketika malam tiba, Nasruddin langsung meminta porsinya "karena akulah alat untuk memperoleh makanan itu."

Sementara itu, yang lain tidak setuju. Sang pendeta mengajukan alasan. Karena bentuk tubuhnya yang paling bagus, maka pantaslah kalau ia yang makan lebih dulu.

Sang yogi juga menyampaikan keadaan dirinya bahwa ia hanya makan sekali dalam tiga hari terakhir ini. Karenanya harus mendapat bagian yang lebih banyak.

Akhirnya mereka putuskan untuk tidur dengan sebuah janji bahwa yang malamnya bermimpi paling bagus, boleh makan halwa lebih dulu. Begitu bangun, sang pendeta bilang: "Dalam mimpi aku melihat pendiri agamaku membuat tanda salib. Itu berarti aku telah memperoleh berkah istimewa."

Yang lain merasa amat terkesan, tapi kemudian sang yogi menyambung: "Aku mimpi pergi ke Nirwana, tapi tidak menemukan apa-apa."Sekarang giliran Nasruddin.

"Aku mimpi bertemu seorang guru Sufi, Nabi Khidir, yang hanya muncul di depan orang yang paling suci. Ia berkata: 'Nasruddin, makanlah halwa itu sekarang juga!' Dan, tentu saja, aku harus mematuhinya."

Friday, 25 April 2008

Aku Rasa Engkau Benar

Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak tersangkalkan dari jaksa.

Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya, Nasrudin berkomentar:

“Aku rasa engkau benar.”

Petugas majelis membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri. Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika, sehingga Nasrudin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai, Nasrudin kembali berkomentar:

“Aku rasa engkau benar.”

Petugas mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah! Nasrudin menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:

“Aku rasa engkau benar.”

Bangun Lebih Pagi Setiap Hari

"Nasrudin, anakku, biasakanlah bangun pagi setiap hari."

"Kenapa, ayah?"

"Itu kebiasaan bagus. Dulu ayah pernah bangun pas dini hari trus keluar jalan jalan. Dan ayah nemu sekantong emas."

"Bagaimana ayah tahu itu bukan punya orang yang kehilangan malam sebelumnya?"

"Oh, itu bukan point nya. Walau bagaimanapun juga kantong itu tidak ada disitu malam sebelumnya. Ayah ingat bener."

"Jadi kalo gitu, bangun pagi pagi gak bagus buat semua orang dong. Orang yang kehilangan sekantung emas itu pastilah bangun lebih pagi dari ayah."

Nasib itu Tidak Bisa Dinalar Dengan Logika

Nasrudin sedang berjalan-jalan dengan santai, ketika tanpa permisi ada orang jatuh dari atap rumah dan menimpanya. Orang yang terjatuh itu tidak terluka sama sekali, tetapi Nasrudin yang tertimpa malah menderita cedera leher. Ia pun diangkut ke rumah sakit.

Para tetangganya datang menjenguknya, mereka bertanya, "Hikmah apa yang didapat dari peristiwa itu, Nasrudin?"

"Jangan percaya lagi pada hukum sebab akibat," jawabnya. "Orang lain yang jatuh dari atap rumah, tetapi leherku yang jadi korbannya. Jadi tidak berlaku lagi logika, 'Kalau orang jatuh dari atap rumah, lehernya akan patah!'"

Mengawasi Pintu Supaya Tidak Ada Pencuri

Suatu hari Nasrudin kecil ditinggal ibunya untuk pergi ke rumah Ibu RT. Sebelum pergi ibunya berkata kepada Nasrudin, “Nasrudin, kalau kamu sedang sendirian di rumah, kamu harus selalu mengawasi pintu rumah dengan penuh kewaspadaan. Jangan biarkan seorang pun yang tidak kamu kenal masuk ke dalam rumah karena bisa saja mereka itu ternyata pencuri!”

Nasrudin memutuskan untuk duduk di samping pintu. Satu jam kemudian pamannya datang. “Mana ibumu?” tanya pamannya.

“Oh, Ibu sedang pergi ke pasar,” jawab Nasrudin.

“Keluargaku akan datang ke sini sore ini. Pergi dan katakan kepada Ibumu jangan pergi ke mana-mana sore ini!” kata pamannya.

Begitu pamannya pergi Nasrudin mulai berpikir, “Ibu menyuruh aku untuk mengawasi pintu. Sedangkan Paman menyuruhku pergi untuk mencari Ibu dan bilang kepada Ibu kalau keluarga Paman akan datang sore ini.”

Setelah bingung memikirkan jalan keluarnya, Nasrudin akhirnya membuat satu keputusan. Dia melepaskan pintu dari engselnya, menggotongnya sambil pergi mencari ibunya.

Sufi Menjual Kambing

Suatu malam seorang ulama Sufi bermimpi bahwa ia sedang menjual seekor kambing yang gemuk.

"Berapa harga kambing ini ?" tanya seorang calon pembeli.

"Dua belas dinar." kata sang sufi.

"Tujuh dinar."

"Tidak boleh."

"Delapan dinar."

"Tidak boleh."

Ketika tawaran mencapai sembilan dinar, sang sufi terbangun dari tidurnya. Ia membuka kelopak matanya dan mengusapnya. Tak seekor kambingpun ia lihat. Pun tak ada calon pembeli. Cepat-cepat ia memejamkan matanya lagi sambil berkata.

"Kalau begitu, baiklah, sembilan dinar boleh kamu ambil."

Jalan Sufi

Menurut jalan kaum sufi, orang yang telah mencapai keadaan sadar lahir batin, dan yang telah berhasil mencapai suatu titik keseimbangan dan sentralitas, dapat menolong orang lain dan menggambarkan kepada mereka keadaan kemajuannya.

Karena itu kita dapati bahwa sepanjang zaman kaum sufi tetap saling berdekatan. Para syekh sufi menyertai muridnya dalam semua tahap kemajuan.

Kita harus membedakan antara istilah "keadaan" (hal) dan "kedudukan" (maqam). Yakni perbedaan antara bagaimana dan di mana. Keadaan (hal) berarti sesuatu yang dapat diraba atau dirasakan. Kadang-kadang orang dapat merasakan keadaan rohani yang sangat murah hati atau peningkatan kesadaran yang hebat. Namun keadaan ini mungkin tidak langgeng. Yang sesungguhnya diinginkan oleh si pencari (salik) ialah mencapai suatu kedudukan (maqam) yang hanya dapat terjadi bila didirikan sebagaimana mestinya dan kokoh. Kedudukan tidak bersifat sementara dan selalu dapat diandalkan dan diingat. Kebanyakan penempuh jalan Allah (salik) akan merasakan keadaan-keadaan yang berbeda dengan berbagai macam tingkat kelanggengan yang tidak permanen, yang tidak memuaskan dan tak cukup. Karena itulah maka pertolongan diperlukan untuk menjamin agar seorang pencari menjadi tetap dalam kedudukan (maqam) yang diinginkan. Maka mendampingi dan berhubungan dengan orang-orang yang berada pada jalan itu adalah suatu faktor penting dalam kemajuan seorang pencari. Alasan penting lain untuk mendapatkan pendampingan yang tepat ialah bahwa kita selalu merupakan produk dari saat yang terakhir, dan karena saat itu dilahirkan dari saat sebelumnya, dan begitu seterusnya, ada suatu kesinambungan. Seseorang yang berdiri sendiri tak dapat menyadari seberapa jauh ia telah menyimpang dari jalan pengetahuan-diri atau penyadaran-diri. Dengan demikian, seorang pencari memerlukan teman untuk menggambarkan kepadanya, seperti cermin, tentang keadaan atau kedudukannya

Sebagaimana dalam kasus ilmu fisika atau ilmu alam, di mana tak pelak lagi kita akan cenderung mengikuti seseorang yang mempunyai pengalaman dan kualifikasi yang lebih banyak dalam ilmu-ilmu tersebut, maka prinsip ini pun berlaku pada ilmu tentang diri (nafs). Pada tingkat fisik, kita secara konstan berusaha ke arah keselarasan dan tindakan yang benar, dan kita mengikuti orang yang ahli dalam bidang ini. Demikian pula bagi keselarasan batin, orang yang paling memenuhi syarat adalah syekh spriritual sufi yang sejati. Namun, ada suatu perbedaan antara ilmu lahir dan ilmu batin. Dalam ilmu lahir, segala cacat dan kekurangsempurnaan dapat dideteksi dengan mudah. Tidak demikian halnya dengan ilmu batin, misalnya, dimana seseorang dapat tersenyum padahal sebenarnya ia sangat resah. Pengetahuan tentang ilmu batin memerlukan spesialisasi yang lebih dalam. Yang diperlukan adalah obat "hati", yang tidak mudah diperoleh atau diberikan, sedang penyembuhan fisik dapat ditentukan, dianalisis dan logis, sehingga lebih mudah dicapai.

Adapun terhadap pertanyaan apakah yang terbaik itu hanya mengikuti satu guru rohani saja, ataukah banyak. Diantara orang-orang besar yang telah saya baca riwayatnya dan pernah saya temui, sebagian telah mengikuti banyak syekh sufi. Namun pada hakikatnya penempuh sejati jalan pencerahan hanya melihat satu syekh sufi. Para syekh sufi itu mungkin berbeda dalam bentuk dan ciri lahiriahnya, tetapi hakikat batinnya adalah satu dan sama. Seorang syekh sufi mungkin sangat tua dan sangat pendiam, syekh lainnya mungkin masih muda dan dinamis. Yang satu mungkin telah berperan-aktif secara politik, sedang yang lainnya tidak demikian. Seseorang mungkin produktif secara ekonomi dan bekerja di pertanian. Yang lainnya menjadi ilmuwan. Yang satu mungkin sangat akrab bermasyarakat sedang yang lainnya menjauhi masyarakat dan lebih menyendiri, dan sebagainya. Penampilan lahiriah dan kecenderungan mereka, seperti sidik jari, berbeda-beda, tetapi seorang pencari yang tulus tidak memusingkan yang lahiriah. Seorang pencari yang mentaati batas-batas yang ditetapkan oleh syari'at sangat memperhatikan perkembangan batin.

Hakikat batin berhubungan dengan esensi dan sumber. Bilamana hakikat batin mendatangi sumber, maka terjadilah kesatuan. Bilamana orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia membeda-bedakan dan melihat berbagai bayangan-bayangan yang berbeda dan sama serta profil yang berbeda-beda. Makin dekat orang meridatangi sumber cahaya, makin sedikit ia melihat perbedaan, sampai ia silau dan tenggelam serta terliputi oleh cahaya itu sendiri. Dengan kata lain, apabila seseorang telah mengambil seorang guru sufi sejati secara benar maka pada hakikatnya ia telah mengambil semua guru sufi. Adalah keliru mengira bahwa orang dapat membuang satu guru sufi lalu pergi kepada guru lainnya, kecuali apabila yang pertama tidak becus atau penipu.

Ketika si pencari berkembang dan bergerak maju, ia dapat melihat dirinya diawasi oleh guru rohaninya dan para guru rohani yang ditemuinya karena rasa hormat guru rohaninya sendiri. Pencari yang cerdas akan selalu hidup dan berperilaku seakan-akan semua syekh sufi yang telah ditemui sedang mengawasinya, sedang benar-benar ada bersama dia dan menjadi pembimbing, pemberi peringatan, dan sahabatnya.

Lantas timbul pertanyaan besar, bagaimana cara si pencari mendapatkan syekh sufi yang sejati? Atau, bagaimana dapat meyakini kualitas syekh tersebut? Para pengikut tradisi esoterik dan kebatinan percaya bahwa rahmat Allah menembus dan meliputi setiap situasi dan segala sesuatu. Guru yang tepat muncul pada saat yang tepat apabila seseorang mempunyai kesungguhan hati dan akhlak yang benar. Akhlak yang benar itu adalah kesabaran dan pengenalan terhadap kebutuhan. Dan dengan rahmat Allah inilah datang jawaban yang tepat pada waktu yang tepat bagi si pencari.

Seorang guru spiritual sejati harus mempunyai kualitas-kualitas dasar yang layak, sebagaimana seorang dokter harus memenuhi persyaratan dasar yang primer sebelum ia melakukan praktik kedokteran. Sebagai permulaan, seorang pemandu spiritual, yakni syekh sufi, harus mengetahui segala aspek lahiriah dari jalan Islam yang asli dan jalan hidup Islam. Ia harus sepenuhnya mengenal pengetahuan dan amalan Islam. Ia harus menerapkan apa yang ada dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Apabila ia tidak mengamalkan hukum-hukum lahiriah, bagaimana mungkin ia mempraktikkan aspek-aspek batin dari jalan hidup ini, apalagi menganjurkan orang lain untuk mengamalkannya? Maka guru spiritual yang sejati harus menghayati sendiri dengan sepenuhnya peraturan-peraturan lahir dan batin dalam Islam.

Syarat lain bagi seorang syekh sufi sebagai guru sejati adalah bahwa ia harus telah mencapai pencerahan yang sesungguhnya dengan mencapai pengetahuan yang sempurna tentang diri. Syekh harus mengetahui cakrawala diri (nafs) yang luar biasa luasnya. Barangsiapa mengenal dirinya, sesungguhnya ia mengenal Tuhannya.

Seorang syekh sufi sejati juga harus sudah mendapat izin secara ikrar untuk pergi dan membimbing orang lain pada jalan pengetahuan-diri, oleh seorang guru yang telah mencapai pencerahan dan berpengalaman serta telah diizinkan untuk mengajar, dan seterusnya, sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena, ada orang-orang yang tetap mentaati batas lahiriah syariat Islam, ada yang telah mencapai pengetahuan-diri, ada pula yang telah mencapai makrifat dan pengetahuan tentang diri, namun mereka tak mampu membimbing orang lain. Sebagaimana tidak cukup bagi seorang dokter hanya dengan sekedar mengkaji dan lulus ujian, serta mengamati dan menjadi asisten dokter lain, sebelum ia dapat membuka praktik sendiri. Ia juga harus diberi izin atau lisensi untuk praktik dokter oleh seorang dokter berkualifikasi yang puas dengan kemampuannya untuk berpraktik.

Syarat lainnya ialah bahwa harus ada seorang pencari yang menerima pengetahuan dari syekh sufi, sebagaimana harus ada pasien sebelum dokter dapat mempraktikkan kedokterannya. Akhirnya, sebagaimana tak ada gunanya bagi seorang dokter untuk mengurus orang sakit apabila si pasien tidak mampu atau tidak mau menerima obat atas penyakitnya, maka tak ada gunanya syekh sufi apabila si pencari tidak sungguh-sungguh mengikutinya.

Sekarang kita sampai pada hubungan antara pencari dan guru. Sejauh mana orang sakit mengambil maslahat dari dokter tergantung pada sejauh mana kepercayaannya terhadap obat yang diresepkan dan kerajinannya mengikuti resep itu. Prinsip yang sama, hanya diperbesar, berlaku pada ilmu pengetahuan-diri dan tasawuf. Akhirnya, yang penting adalah ketajaman dan kehalusan pemahaman antara si syekh sufi dan si murid. Jarak hubungan mereka yang hakiki akan menentukan kecepatan si pencari dalam mengambil dan menyerap warna dan pengertian si guru. Guru itu bagaikan sebuah garputala, dan apabila si murid membiarkan dirinya secara total bergetar dalam gaungnya, yakni sepenuhnya mengikuti gurunya, maka ia akan segera menyanyikan lagu yang sama dengan guru spiritualnya. Ini tidak terjadi dengan serta-merta, tapi dapat berkembang dan berevolusi dengan menanyakan, menguji dan menyesuaikan, sampai si pencari mempercayai gurunya sepenuhnya. Akan datang suatu waktu ketika komitmen total harus dibuat. Si pencari akan memasuki suatu perjanjian yang disebut inisiasi (pelantikan).

Upacara inisiasi telah menjadi suatu peristiwa penting di kalangan banyak tarekat sufi. Banyak sufi semu telah menirunya dan telah membumbuinya lebih jauh serta menempelkan nilai-nilai mistik kepadanya. Satu contoh ialah praktik-praktik rahasia kaum Freemason. Dalam kelompok ini, bila seorang anggota mencapai level tertentu di dalam "tarekat" itu, ia dikubur hidup-hidup untuk sementara dalam sebuah peti mati, yang secara simbolis menyiratkan pengalaman pribadi tentang kematian, sementara masih berada dalam kehidupan dunia ini. Setelah beberapa saat ia dikeluarkan dari peti mati dan "dikembalikan" kepada kehidupan ini. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Matilah sebelum kamu mati," yang artinya melakukan pelepasan dan kebebasan sebelum terjadi peristiwa pelepasan dari jasad Anda.

Fondasi inisiasi adalah suatu ikatan atau perjanjian yang mempersatukan guru dan murid. Perjanjian tersebut tidak tertulis dan karena itu mengambil bentuk baiat (sumpah setia). Si pencari setuju untuk mentaati si guru, dan si guru setuju untuk mengurus kemajuan si murid serta membimbingnya.

Kebalikan dari inisiasi, yakni pengusiran, kadang-kadang juga terjadi ketika si guru dan murid mencapai suatu keadaan di mana ikatan antara keduanya menjadi tak berlaku dan hubungan itu mati. Ada kalanya pencari meninggalkan gurunya dan menyoroti segala yang nampak tidak menyenangkan pada si guru. Kemarahan si pencari menyebabkan ia melihat semua aspek negatif dari hubungan itu, dan menurut penglihatannya sia-sialah segala pengorbanan yang telah dilakukannya. Bagi si guru, si pencari yang minggat dengan kemarahan itu adalah seorang korban baru dari nafsu yang rendah dalam diri manusia.

Derajat kecanggihan dan kompleksnya peraturan inisiasi nampaknya banyak tergantung pada kecenderungan syekh sendiri, dan pada lingkungannya. Beberapa syekh tertarik pada upacara-upacara, pada hierarki, dan pada pemberian nama-nama kepada orang sesuai dengan kedudukan (maqam) dan kapasitasnya, seperti, misalnya, para syekh Sanusi di Libya yang secara spiritual, sosial, politik, dan ekonomi memimpin dan menguasai jaringan desa dan kota yang sangat luas selama hampir satu abad. Di sisi lain. beberapa syekh tidak menggunakan bentuk formal atau seremonial dalam inisiasi, entah karena watak dari kedudukan mereka dalam masyarakat atau karena mereka tidak memandangnya perlu. Jadi, lingkungan sosio-kultural dan pembawaan para syekh itu sendiri merupakan dua faktor utama yang menentukan derajat formalitas dalam setiap tarekat sufi.

Tujuan terakhir dari syekh sufi ialah membantu muridnya untuk menemukan kebenaran dalam diri dan untuk dicerahi tentang hakikat. Agar terpenuhi setiap waktu, pentinglah menemukan sebab-sebab ketidakbahagiaan. Sebab hakiki dari semua ketidakpuasan berakar pada pelanggaran batas-batas, pembangkangan, pengharapan, hasrat, ketakutan, kecemasan dan aspek-aspek lain seperti kurangnya pemahaman tentang alam hakikat. Dari sisi pandang kaum sufi, amal ibadah dasar yang ditetapkan oleh syari'at, seperti shalat, puasa di bulan Ramadlan, zakat, naik haji ke Makkah, dan seterusnya, walaupun wajib, tidaklah cukup bagi kebanyakan manusia yang sakit dalam rumah sakit besar bernama dunia ini. Dunia adalah rumah sakit Tuhan, dan para rasul, nabi, serta para wali atau syekh sufi adalah dokter jiwanya. Karena ada berbagai jenis penyakit, maka bangsal rumah sakit pun berbeda-beda. Ada klinik di mana pasien tidak tinggal lama ada kamar di mana pasien tinggal beberapa minggu atau bulan; dan ada kamar bedah di mana dokter, atau syekh sufi, terus sibuk "mengoperasi" pasien-pasiennya. Kita dapati pula "obat-obat" diresepkan sesuai dengan keperluan khusus si pasien, dengan mempertimbangkan lingkungan seluruhnya dan semua keadaan sekitar.

Fungsi terakhir dari seorang guru sufi ialah memindahkan si pencari secara berangsur-angsur, sesuai dengan kecepatan langkahnya, sampai ke tingkat di mana ia mampu membaca "kitab" yang ada di dalam "hati"-nya. Apabila si pencari mempelajari seni ini dan menjadi kuat serta bertindak sesuai kehendak, maka jelaslah ia sedang maju dan berkembang. Tujuan si syekh ialah melepaskan dan menyampaikan kepada orang lain apa yang telah dicapainya sendiri. Proses ini, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, dapat ditingkatkan apabila lingkungan maupun pendampingannya tepat, dan bilamana si murid berniat untuk belajar dan berkemauan untuk bertindak, dan bertindak dengan semestinya. Guru tidak bisa berbuat banyak bila si pencari atau murid tidak ingin maju. Si penempuh jalan (salik) bisa menyerah pada suatu tahap perjalanan (suluk), sekalipun tinggal selangkah lagi. Namun, kadang-kadang, sekalipun si murid ingin maju, tidak ada jaminan bahwa tujuannya akan terpenuhi sesuai dengan harapan. Syekh al-Faituri (m. 1979) berkata sebagai berikut tentang dilema guru dalam salah satu syairnya:

Betapapun besar si guru berusaha. Betapapun besar si murid menghendaki. Betapapun khusyuknya dia (beribadat) siang dan malam, Akhirnya pencerahan adalah anugerah Allah.

Tugas guru ialah membimbing si pencari sepanjang jalan yang sudah ditertibkan sampai ke titik di mana ia mampu duduk dalam kejagaan mutlak tanpa menjaga sesuatu. Ini puncak terakhir yang murni dan sederhana dari kondisi meditasi (khalwat). Sejak itu seterusnya, hanya Allah yang dapat menolong dia. Jadi, si pencari harus melengkapi sendiri setengah lingkaran, tetapi setengah lingkaran lagi tidak berada dalam kekuasaannya. Anda naik setinggi Anda dapat memanjat, lalu berserah diri!

Menurut pengalaman para sufi, tingkat kemajuan sepanjang perjalanan spiritual (suluk) tidak menurut garis lurus. Menurut studi mekanistis, seperti mempelajari bahasa, kemajuan itu berjalan agak lurus. Makin banyak waktu yang Anda curahkan untuk mempraktikkan bahasa, makin cakap Anda dalam berbahasa, karena hal itu dapat diprogram sehingga dapat diukur, dan oleh karena itu lebih mudah diperoleh. Di sisi lain, ilmu kebatinan, dapat diukur tetapi sukar. Apabila seseorang sanggup melenyapkan sama sekali segala keterikatan sekarang ini juga, maka kebangunan akan segera tercapai. Apabila tidak demikian, ia harus melewati tumpukan disiplin, peringatan yang terus-menerus, dan penderitaan yang tak henti-henti untuk dapat sampai pada kesadaran yang sempurna. Kemajuan spiritual tidak diukur seperti mengukur usaha-usaha lain. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa nampak terjadi sesuatu, dan kemudian tiba-tiba saja dalam dua hari segala sesuatu terjadi. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun mentaati gurunya, dan merasa bahwa tak terjadi banyak kemajuan, padahal dalam kenyataannya mungkin amat banyak "karat" spiritual telah disingkirkan selama waktu itu. Seperti menyingkirkan karat setebal beberapa inci, dan masih belum dapat melihat dasar logam di bawahnya, padahal logam itu mungkin sebenarnya hanya tinggal satu milimeter karat lagi. Kita tak mampu mengukur kemajuan spiritual secara lahiriah, karena ia berdasar pada kesucian "hati" dan kemauan untuk menanggalkan keterikatan. Itu tergantung pada derajat ketundukan si pencari kepada nabi. Mula-mula ia tunduk dengan menggunakan penalaran dan akalnya, dan dengan mempelajari seluruh hubungan sebab-akibat. Kemudian, kemajuan spiritual mengambil momentumnya sendiri. Sesudah itu, ketundukan yang sederhana membawanya kepada ketundukan yang lebih manis dan lebih spontan tanpa mengandung keraguan. Sebelum keadaan ini tercapai, tak banyak yang dapat terjadi. Jadi, waktu yang diperlukan untuk terjadinya pembukaan-pembukaan tertentu tidak dapat diukur semudah itu. Hubungan yang patut antara pencari dan guru spiritual diperlukan agar dapat dicapai kemajuan yang berkelanjutan. Murid terdekat Syekh Sufi Imam Junaid bernama Syibli. Imam Junaid (m. 910) sangat mencintainya. Pernah, dalam suatu pertemuan, salah seorang anggotanya mulai mengagumi dan memuji Syibli di hadapannya dan banyak orang lain. Imam Junaid menyela lalu mulai menceritakan segala kesalahan dan kekurangan Syibli. Syibli merasa malu dan diam-diam mengundurkan diri dari pertemuan itu. Ketika ia telah pergi, Imam Junaid berkata, "Saya melindunginya dengan perisai penghinaan dari panah berbisa pujian yang berlebihan." Karena, Imam Junaid tahu bahwa Syibli hampir mencapai suatu maqam spiritual, dan apabila pujian-pujian itu tidak dipotong, mungkin akan melambungkan egonya dan menciptakan rintangan. Rintangan terbesar terhadap kebangunan batin ialah menghargai diri sendiri.

Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada menghilangkan keterikatan, dan keterikatan yang terbesar dan terburuk kebetulan adalah ilmu pengetahuan. Ada anekdot tentang Imam Abu Hamid al-Ghazzali (m. 1111) sehubungan dengan ini. Ketika Imam Ghazzali meninggalkan Baghdad untuk mencari syekh sufi, ia telah memperoleh semua pengetahuan lahiriah dari ilmu-ilmu Islam, tetapi batinnya yang terdalam belum terbangun. Ia membawa dua ekor keledai yang dimuati buku. Di tengah jalan ia dihentikan oleh seorang perampok yang hendak mengambil buku-bukunya. Imam Ghazzali menawarkan apa pun kepada perampok itu kecuali buku, tetapi si perampok hanya menghendaki buku, lalu mengambilnya. Tujuh atau delapan tahun kemudian, ketika Imam Ghazzali telah memenuhi pencarian sufinya, seseorang datang ke hadapannya di Makkah. Rupanya ia Nabi Khidr, yang memberitahukan kepada Imam Ghazzali bahwa jika bukan karena perampokan buku-bukunya, maka ia akan tetap mejadi budak buku-buku itu dan tidak akan menemukan "Buku" pengetahuan sesungguhnya yang berada di dalam hati setiap orang. Imam 'Ali berkata dalam hal ini, "Anda adalah 'Buku' [asli] yang terang."

Buku diperlukan pada awalnya sebagai alat bantu untuk penemuan batin, tetapi bila seseorang menjadi lebih kuat dengan pengetahuan batin, ia kurang memerlukan bantuan dari luar. Buku adalah seperti kursi dorong yang diperlukan seorang anak hanya pada awal kehidupannya. Namun sayangnya, banyak orang yang disebut ulama mempertahankan kursi dorongnya sepanjang sisa hidupnya. Di sisi lain, banyak sufi semu cenderung untuk membuang bukan saja buku tetapi juga bacaan hafalan sebagai barang yang sama sekali tidak diperlukan. Sikap meremehkan ini tak lain adalah bentuk pengangkatan diri, yang merupakan pemutarbalikan dan penyimpangan dari jalan spiritual yang sesungguhnya. Kitab-kitab dan bacaan merupakan alat bantu yang penting untuk membantu kebangunan batin, yang tak dapat diandalkan sepenuhnya dan tak boleh diabaikan sama sekali.

Pencari pengetahuan dan gnosis (makrifat) harus mengikuti jalan di bawah bimbingan seorang guru, sampai datang suatu saat di mana ia harus dibiarkan sendiri. Guru itu ibarat tongkat yang tidak perlu digunakan lagi setelah si pencari dapat berjalan sendiri. Saat itu tiba bila si murid tidak lagi memerlukan guru jasmaniah karena kini ia telah terisi langsung ke dalam sumber kekuatan sejati. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia memerlukan guru lahiriah sepanjang hidupnya, maka ia telah salah membatasi ukuran sebenarnya dari potensi manusia dan kerahiman Ilahi. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memerlukan seorang guru maka ia sombong (takabbur) dan angkuh dan akan hidup di bawah kezaliman nafsu yang rendah. Namun, bagi setiap aturan ada kekecualian. Kekecualian tersebut dalam kasus orang yang tidak memerlukan guru lahiriah, atau yang tidak kelihatan memiliki guru jasmaniah yang nyata, untuk mengarahkan dan membimbingya. Dalam tradisi sufi, orang semacam itu disebut uwaisi. Istilah ini berasal dari nama seorang lelaki, Uwais al-Qarani, yang tinggal di Yaman di masa Nabi Muhammad SAW. Walaupun ia belum pernah bertemu secara fisik dengan Nabi, namun ia telah melihat beliau dalam mimpi-mimpinya, kabarnya Nabi SAW menyebutkan wali besar ini dengan mengatakan, "Nafas Yang Maha Pengasih datang kepada saya dari Yaman." Ketika orang mengetahui tentang tingkat spiritualnya, Uwais berusaha menyembunyikan diri di balik kehidupan biasa seorang gembala unta dan kambing, dan khalwat menjadi jalan hidupnya. Ketika ia ditanyai tentang hal ini, ia berkata, "Mendoakan manusia dalam ketidakhadiran orang yang didoakan adalah lebih baik daripada mengunjunginya, karena aspek-aspek ego mereka, seperti pakaian atau citra diri, dapat mengalihkan perhatian saya." Ia juga biasa mengatakan, "Menyuruh orang berbuat baik tidak menyampaikan saya pada seorang sahabat," dan "Saya memohon kepada setiap orang yang lapar untuk memaafkan saya, karena saya tak mempunyai apa-apa dalam dunia ini selain apa yang ada dalam perut saya." Bagi kaum sufi yang belakangan, Uwais menjadi prototipe orang sufi yang bersemangat yang tidak memihakkan dirinya kepada suatu tarekat sufi. Para sufi semacam itu menerima inisiasi atau cahaya mereka langsung dari cahaya (nur) Nabi, tanpa kehadiran secara fisik atau bimbingan dari seseorang guru spiritual yang hidup.

Segelintir sufi semu yang tidak mengikuti, dan tidak ingin mengikuti, seorang guru spiritual sejati untuk membimbingnya pada jalan spiritual, memanfaatkan situasi itu dan dengan tidak benar menamakan dirinya Uwaisi. Ini adalah salah satu taktik dan penipuan dari nafsu rendah yang tidak ingin diurus atau tunduk kepada Allah. Uwaisi sejati yang sebenarnya adalah langka. Orang yang sungguh-sungguh tertarik pada tasawuf mengikuti suatu jalan perbaikan-diri, kesadaran-diri, dan kebangunan-diri, dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh syekh sufi. ( Arsip Pustaka Islam)


Definisi Tasawuf

Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.


Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.

Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.

Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.

Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi:

Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:

    Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata.

Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."

Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):

Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.

Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".

Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar.

Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik.

Thursday, 17 April 2008

Sang Pencinta


Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany
Hari Ahad pagi, 13 Jumadil Akhir 545 H di Pesantrennya.
Siapa yang melihat orang yang mencintai Allah Azza wa-Jalla maka orang itu telah melihat orang yang melihat Allah Azza wa-Jalla dengan hatinya dan masuk dengan rahasia hakikat jiwanya. Tuhan kita Azza wa-Jalla adalah yang Maujud dan Terlilihat. Nabi SAW bersabda:
“Kalian akan melihat Tuhan
kalian sebagaimana kalian melihat matahari dan bulan, sama sekali tidak bisa disembunyikan
penglihatan dalam pandangannya.”

Sekarang (di dunia) Allah dilihat melalui matahati, sedangkan besok (di akhirat) dengan mata kepala.
“Tidak ada seuatu apa pun yang menyerupainNya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Para pecinta senantiasa ridlo hanya kepadaNya, bukan lainNya. Mereka memohon pertolongan hanya kepadaNya dan membatasi yang lainNya. Kepedihan faqir adalah kemanisan bagi mereka, lebih pada meraih RidloNya, mendapatkan nikmat dariNya.

Kecukupan mereka pada kefaqiran mereka, kenikmatan mereka pada duka mereka, kemesraan mereka pada gentarnya mereka. Rasa dekat mereka pada jauh mereka, istirahat mereka pada beban mereka. Sungguh baik dan indah bagi mereka wahai yang bersabar, wahai yang ridlo, wahai mereka yang fana dari nafsunya dan hawa nafsunya.
Wahai orang-orang sufi, berselaraslah kalian dengan Allah swt dan ridlolah kepadaNya atas Af’alNya yang diberikan padamu dan sesamamu. Janganlah kalian semua mengajariNya dan merekayasa dengan akalmu kepadaNya, karena Dia lebih mengerti dari dirimu.
“Allah Maha Tahu sedangkan kalian tidak mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 216)

Berhentilah di hadapanNya dengan jejak-jejak kekosongan dari akal dan pengetahuanmu serta ilmumu, agar kalian meraih ilmuNya. Biarkanlah dirimu dan jangan memilih, biarkan dirimu agar Dia memilihkan pengetahuanNya padamu. Membiarkan diri, lalu meraih pengetahuan, kemudian sampai pada yang diketahui, lalu sampai pada tujuan.

Awalnya adalah kehendak, kemudian meraih maksud kehendak. Beramallah, sesungguhnya aku hanyalah pemintal tali, dimana aku memintal tali kalian yang putus. Aku tidak punya sedikit pun kepentingan kecuali semua ini adalah kepentinganmu. Aku tak pernah susah kecuali susahmu. Aku terbang kemana pun kalian jatuh aku temukan.

Yang terpenting bagi kalian adalah batu-batu yang terlontarkan, wahai orang yang hanya duduk-duduk, penuh dengan benan berat yang ditimbun oleh nafsu dan terikat oleh kesenangan nafsumu. Ya Allah rahmati aku dan rahmati mereka.

Pengantar Singkat Tentang Tasawwuf III

Proses pencarian dan pencapaian dalam tasawwuf, seperti didefinisikan oleh Abu Bakar al Kattani itu, secara aplikatif telah dilalui oleh Imam Al Muhasiby dan imam Al Ghazali. Dalam kitabnya Al Munqiz Min-a 'dl-Dlalal imam Al Ghazali menulis:

"Semenjak mudaku, sebelum aku menginjak usia dua puluh hingga saat ini, ketika aku telah menginjak usia lima puluh tahun, aku selalu mengarungi lautan yang dalam ini. Dengan segala keberanian, menelusuri seluruh segi, dan mempelajari akidah semua firqah, kemudian berusaha membuka rahasia mazhab semuah firqah itu. Agar aku dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, serta antara yang mengikuti sunnah dengan yang membuat bid'ah. Aku tidak memasuki kebatinan kecuali untuk mengetahui kebatinannya, tidak kaum zhahiri (literalis) kecuali agar aku mengetahui hasil kezhahirihannya, juga tidak filsafat kecuali aku hendak mengetahui hakikat filsafatnya, dan tidak kaum mutakallimin kecuali untuk mengetahui hasil akhir kalam dan debat mereka, tidak juga kaum sufi kecuali aku ingin mengetahui rahasia kesufiannya, dan tidak kaum ahli ibadah kecuali aku ingin mengetahui hasil dari ibadahnya, juga tidak kaum zindiq yang tidak mengikuti syari'at kecuali untuk menyelidiki mengapa mereka demikian berani berbuat seperti itu" (1).

Setelah mengkaji sedemikian rupa seluruh firqah dan kecenderungan pemikiran tersebut, akhirnya Al Ghazali berkesimpulan: "Kemudian aku mengetahui dengan yakin, kaum sufi adalah mereka yang benar-benar menuju kepada Allah Swt. Perjalanan hidup mereka adalah yang paling baik. Metode mereka adalah yang paling lurus. Dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling bersih. Bahkan, jika digabungkan intelektualitas kaum intelek, kebijaksanaan para bijak-bestari serta pengetahuan ahli tentang rahasia-rahasia syari'ah untuk merubah sedikit saja perjalanan hidup dan akhlak mereka, serta kemudian mengajukkan gantinya yang lebih baik, niscaya mereka tidak akan mampu" (2), (3).

Dengan pembelaan Al Ghazali itu, terutama usahanya menyatukan antara tasawwuf dengan fiqih, dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin", maka tasawwuf mendapatkan penerimaan yang demikian luas. Untuk kasus Indonesia, misalnya, mayoritas para kiyai yang mempunyai pondok besar dan mempunyai pengetahuan fiqih yang luas, juga menguasai tasawwuf. Walaupun pada sebagian orang hanya untuk dirinya sendiri. Tasawwuf kemudian menjadi salah satu rahasia kekuatan Islam. Baik dalam menyebarkan ajaran Islam secara damai, tanpa menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Wali Songo di Indonesia (4). Juga dalam mempertahankan ajaran Islam itu.

Dalam buku From Samarkand to Stornoway : Living Islam, Akbar S. Ahmad melukiskan, betapa dengan kekuatan tasawwuf itu, Islam mampu bertahan di negara-negara yang dianeksasi oleh Rusia yang komunis itu. Di bawah tekanan yang demikian hebat, antara lain orang yang ketahuan membaca Al Quran maupun melakukan shalat langsung masuk penjara, namun, dengan semangat dan ajaran tasawwuf, Islam mampu bertahan dalam tahun-tahun yang penuh penderitaan itu. Maka ketika negara-negara di Asia Tengah itu menemukan kemerdekaannya, wajah Islam segera menyembul kepermukaan. Seperti cendawan di musim hujan (5).

Dalam perjuangan mempertahankan Islam dengan kekuatan senjata, secara jelas peran itu terlihat pada tokoh-tokoh puncak kaum sufi. Mereka terlibat dalam banyak peperangan dan ikut serta di tengah kecamuk peperangan itu. Seperti Syaqiq al Balkhi, Hatim Al Asham, Abu Hasan Asy-Syazili yang turut serta dalam peperangan melawan tentara salib di Manshurah, walaupun matanya saat itu telah buta, juga Abdul Qadir al Jazairi serta Imam Muhammad Madli Abul Azaim, yang disebut terakhir turut berjuang untuk mengembalikan khilafah Islamiyyah paska dihapusnya kekhilafahan di Turki (6).

Dan bagi dunia modern sekarang ini, seperti diakui oleh Martin Van Bruninessen(7) dalam wawancaranya dengan majalah Amanah, kans tasawwuf untuk mengajukan dirinya kepada masyarakat modern amat besar. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, tasawwuf akan mampu menembus dan menundukkan Barat. Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Seyyed Hossein Nasr mengatakan, tasawwuf adalah inti kekuatan Islam. Ia adalah jantungnya Islam. Tasawwuflah yang dengan menjanjikkan dapat memberikan alternatif kepada masyarakat modern di Barat. Dan Rene Guenon, seorang sarjana Prancis yang kemudian mengganti namanya menjadi Syeikh Abdul Wahid Yahya, telah menggunakan kekuatan tasawwuf itu untuk menyebarkan Islam di seluruh penjuru dunia. Hingga gereja harus mengeluarkan keputusannya untuk melarang masyarakat membaca buku-bukunya. Tentu saja itu dilakukan gereja karena melihat pengaruh yang begitu besar dari buku-bukunya itu (8).

Tokh, dunia telah mengenalnya dan menikmati buku-bukunya, dan itu telah menggetarkan hati banyak orang Barat yang sedang mencari kebenaran. Pada tahun 1977, misalnya, di Oxford telah didirikan sebuah organisasi pengagum pemikiran Ibnu Arabi, The Muhyiddin Ibnu Arabi Society. Sejak 1982 organisasi ini telah menerbitkan sebuah jurnal, yang diberi nama Journal of the Muhyiddin Ibn 'Arabi Society. Organisasi ini secara berkala mengadakan Pertemuan Umum Tahunan dan Simposium Tahunan di tempat-tempat berbeda (9).

Kini Anda telah hadir di dunia ini. Anda juga telah mengenal wajah tasawwuf dalam arti yang sebenar-benarnya. Tujuan kehadiran Anda di dunia adalah menjalani titian rintangan, cobaan, dan karunia dan bahagia yang ada menuju tahapan demi tahapan ke sisi haribaan-Nya. Hanya Dia-lah yang kita tuju. Hanya kepada-Nya-lah hidup kita berserah. Hanya Dia-lah sumber cinta segala cinta kita.

Selamat mempelajari Tasawwuf!

Catatan:

1. Lihat:Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Al Munqiz Min 'dl-Dlalal, dalam majmu'at rasail Imam Al Ghazali,Darul Kutub al Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1409 H/1988 M, hal. 24-25.

2. Sca. hal. 62

3. Untuk contoh kontemporer proses seperti ini, dapat dibaca pada, Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Muhammad Ali Salamah Sirah wa Sarirah, Darul Iman wal Hayat, pengantar.

4. Lihat: Abdul Hayyie al Kattani, Ummat Islam Indonesia Sejarah Politik dan Peranannya 600-an --1945, MA Attaqwa, 1411 H/1991 M, hal 12-14

5. Lihat; Akbar S. Ahmad, From Samarkand to Stornoway: Living Islam, BBC Books Limited London, 1993, edisi Bahasa Indonesia, hal. 265-267.

6. Lihat: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Imam Al Azaim Al Mujaddid ash-Shufi, Darul Iman wal Hayat, Cairo, 1412 H/1992M, hal. 49-52.

7. Seorang peneliti Belanda, telah melakukan penelitian tentang tarikat Naqshabandi ke Asia tengah dan Indonesia. Salah bukunya tentang tasawwuf di Indonesia telah diterbitkan. Dan, setelah mempelajari Islam, terutama tasawwuf, ia dengan yakin mengucapkan syahadat.

8. Lihat: Al Madrasah Syaziliyyah, scn. 24, hal. 281 dst.

9. Lihat: Kautsar Azhari Noer, Ibn Al Arabi Wahdat al Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, cet. I, 1995, hal. xiv

Pengantar Singkat Tentang Tasawwuf II

Menurut Syeikh Abdul Halim Mahmud, terdapat banyak pendapat tentang dari mana akar kata tasawwuf diambil(1). Namun, menurutnya, pendapat yang paling kuat adalah pendapat mayoritas pakar tasawwuf, seperti Mushthafa Aburraziq, Dr. Zaki Mubarak, Orientalis Margoliouth, Louis Massignon dan lainnya. Yaitu, akar kata itu diambil dari kata "shuf"-bulu domba. Bahkan Mushtafa Abdurraziq dan Louis Massignon dengan tegas mengatakan, sebaiknya pendapat yang mengatakan bahwa akar kata tasawwuf bukan diambil dari kata itu, ditolak(2).

Namun, menurut Syekh Abdul Halim Mahmud, kata tasawwuf ini, pada perkembangan awalnya bukan digunakan untuk pengertian tasawwuf seperti yang kita ketahui sekarang. Tetapi, pada awalnya, digunakan untuk menunjukkan orang-orang yang berpaling dari dunia. Yaitu para zahid dan ahli ibadah(3).

Dalam mendefinisikan tasawwuf secara terminologis, menurut Abdul Halim Mahmud lagi, juga terdapat banyak pendapat. Masing-masing orang mendefinisikannya sesuai dengan kecenderungan dan maqam yang dia telah capai. Basyar Al Hafi (w.227 H.) mengatakan, sufi adalah: Orang yang bersih hatinya (pembersihan jiwa), Abu Hafsh al Haddad (w. 265 H) mengatakan, tasawwuf adalah: Sempurnanya budi pekerti (metodologi Akhlaq), Abu Sa'id al Kharraz (w. 297 H) mengatakan: Sufi adalah orang yang hatinya disucikan oleh Rabb-nya, maka hatinya dipenuhi cahaya, dan orang yang menemukan kelezatan dalam berzikir kepada Allah. Sedangkan Al Junaid (w.297H) berkata, tasawwuf adalah: Orang yang dirinya dibersihkan oleh Allah, maka orang yang telah terbebaskan dari segala sesuatu selain Allah, ia adalah sufi. Dan banyak lagi definisi lainnya. Al Junaidi sendiri memberikan lebih dari sepuluh definisi bagi tasawwuf (4).

Namun, setelah melihat satu-persatu definisi tersebut, Syeikh Abdul Halim Mahmud berkesimpulan, definisi yang diberikan oleh Abu Bakar al Kattani (w. 322 H), adalah definisi yang paling tepat. Karena definisi itu menyatukan antara wasilah dan tujuan: Wasilahnya adalah penyucian diri, shafa; dan tujuannya adalah penyaksian, musyahadah.

Abu Bakar al Kattani mengatakan, tasawwuf adalah: Ash-Shafa wa 'l musyahadah --kesucian diri dan penyaksian". Dari definisi tersebut, dapat dikatakan dengan yakin, tasawwuf adalah pengejawantahan secara utuh firman Allah Swt.: "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu ".(5)

Pensucian diri itu adalah sebuah metoda untuk kemudian mencapai kondisi seperti yang difirmankan oleh Allah Swt: "Katakanlah: "Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tema menyerahkan diri (kepada) Allah" (6).

Dan tujuannya adalah menuju pencapaian seperti yang difirmankan oleh Allah SWT: "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)". (7) Dengan demikian, tujuan tasawwuf adalah menuju penyaksian: Asy-hadu an la ilaha Illa Allah - 'Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah'" (8).

Lebih jauh, Dalam kitab Ash-Shafa wa 'l Ashfia, Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid berkata: "Tasawwuf adalah Islam itu sendiri. Dengan pengertian, Islam adalah kumpulan dari syari'ah, hukum dan perintah-perintah Allah Swt untuk seluruh umat manusia. Syari'ah dan hukum-hukum ini, Tidak akan bermanfaat bagi manusia kecuali jika ia melakukannya dengan ikhlas semata untuk Allah SWT. Sedangkan orang yang hanya mengatakan bahwa ia muslim, kemudian tidak menjalankan syari'at dan aturan-aturan Islam, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai muslim secara utuh. Rasulullah Saw bersabda: "Keimanan bukanlah sekadar angan-angan, namun ia adalah apa yang tertanam dalam hati, dan dibuktikan oleh amal perbuaan. Ada orang yang tertipu oleh angan-angannya dan merekapun tertipu dalam menghadapi Allah, sehingga mereka berkata: 'kami berbaik sangka kepada Allah' [Maksudnya: kami berbaik sangka kepada Allah, bahwa dengan keimanan kami kepada-Nya --tanpa dibuktikan amal kami-- Allah akan menyelamatkan kami dan memasukkan kami ke surga, pen].

Pada dasarnya mereka telah berdusta, karena jika mereka berbaik sangka kepada Allah, niscaya mereka akan beramal dengan baik pula". Dan sufi adalah orang yang menjalankan syari'at Islam dengan sempurna. Maka orang yang menjalankan syari'at Islam dengan sempurna adalah sufi. Karena tasawwuf adalah usaha untuk menjalankan segala kewajiban dari Allah SWT tersebut dengan segala keikhlasan hati serta bersih dari ria dan bangga diri untuk mencapai derajat shafa (kesucian diri)". (9)

Catatan:

1. Tentang hal ini, lihat: Abdul Halim Mahmud, Qadliyat tasawwuf: Al Munqizh min-a 'dl Dlalal, Darul Ma'arif, Cario, cet. II, hal. 34 dst. -- Ibnu Taimiyyah, As-Shufiyyah wa al Fuqara, Darul Fath, cet. I, Cairo, 1984, hal. 5 dst. --Louis Massignon & Dr. Mushthafa Abdurraziq, Al Islam wa Tasawwuf, Dar Sya'b, Cairo, 1399 H/1979M, hal. 14 dst. --Abu Bakar Muhammad al Kalabady, At-Ta'arruf Li Mazhab Ahli Tasawwuf, Maktabah Azhariyyah li Turats, cet. III, 1412 H/1992 M, hal. 26 dst.

2. Lihat, Al Islam wa Tasawwuf, sca.

3. Lihat, Qhadiyat Tasawwuf, scn. 21, hal. 35.

4. Lihat: Abdul Halim Mahmud, Qadliyat Tasawwuf: Madrasah Asy-Syaziliyyah, Darul Ma'arif, Cairo, cet.II, hal. 436.

5. QS. Asy-Syams: 9

6. QS. Al An'am: 162

7. QS. Ali 'Imran: 18

8. Scn. 24, hal. 438.

9. Lihat: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Ash-Shafa wa 'l Ashfia, Darul Iman Wa'l Hayat, Cairo, 1996, hal. 51-52.

Pengantar Singkat Tentang Tasawwuf I

oleh Abdul Hayyie al Kattani

Allah Swt berfirman: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu" (QS. Al A'raf: 172-173)

Ayat di atas dengan jelas mendeklarasikan, seluruh manusia pernah melihat dan berjumpa dengan Allah Swt. Bahkan berbicara kepada-Nya secara langsung. Pengalaman ini tertanam dalam sisi terdalam jiwa manusia, fitrah. Semuanya telah terpatri (built in) dalam bangunan diri setiap manusia, siapapun dia. Oleh karena itu, jika manusia di dunia ditanyakan siapa yang telah menciptakan langit dan bumi ini, secara spontan, sisi terdalam jiwa mereka itu akan menjawab: "Allah".

Dalam Al Quran, Allah Swt berfirman: "Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah" (QS. Luqman: 25). Keindahan kebersamaan dan perjumpaan itu menjadi sesuatu yang terus mendorong mereka yang dianugerahkan berhati bersih, atau mereka yang kemudian dibukakan hatinya, untuk menggapainya kembali. Manusia, di dunia ini, berada dalam perpisahan sementara dan amat singkat, untuk kemudian kembali menghadap kepada-Nya. Atau dalam sabda Rasulullah Saw diungkapkan: Manusia di dunia ini tertidur, dan jika mati mereka baru terjaga. Tentang perjumpaan pada kesempatan pertama itu, Imam Abul 'Azaim bersenandung:

Sejak jaman "alastu" kami tak pernah melupakan * percakapan dan keindahan "Sang Indah" Gemerlapan. (Seperti dikutip oleh Syeikh Muhammad Ali Salamah, Ayyamullah, Cet. Strand al Haditsah, Cairo, 1985, hal. 17.)

Imam Ali k.w. pernah ditanya: Wahai amirul mu'minin, apakah Anda mengingat hari alastu birabbikum? Ia menjawab: "Ya, aku masih mengingatnya, dan aku mengingat siapa yang berada di samping kanan dan samping kiriku"!.

Pada suatu halaqah yang diadakan Al Muhasiby, seseorang bersenandung:

"Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan
Seperti perantau yang kesepian
Dan kini ku menyadari
Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan
Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada" (1)

Mendengar itu, Al Muhasiby segera berdiri dan terisak menangis, merindukan kampung halamannya yang abadi, yang disaksikan pada hari "alastu" itu.

Perjumpaan selanjutnya dengan Allah Swt akan terjadi dalam bentuk yang amat lain. Yaitu akan diikuti dengan perhitungan perbuatan selama perjalanan singkat di dunia ini. Apakah seseorang tetap ingat terhadap janjinya, atau malah kemudian dikalahkan sisi gelap dirinya: Nafsu yang melenakan dan melupakan serta selalu mengajak kepada keburukan; "Nafsu ammarah bissu". Hanya orang-orang yang selamat dari godaan itu dan membersihkan hatinya yang berhak kembali dengan selamat dan menikmati keindahan dan kebahagiaan yang pernah dirasakan itu. Dan Allah Swt akan menyambutkan dengan segala penyambutan: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku" (QS. Al Fajr: 28-30).

Untuk melakukan perjalanan sementara itu, Allah Swt tidak membiarkan manusia dalam kebutaan dan kegelapan, tanpa petunjuk jalan dan orang yang menuntun mereka. Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul untuk melakukan tugas itu. Memberikan tuntunan kepada manusia agar dapat kembali dengan selamat, menuju kampung halaman mereka. Hal itu berkali-kali telah diungkapkan oleh Al Quran, dan oleh Rasulullah Saw; telah diutus sebelum beliau nabi-nabi dan rasul-rasul untuk melakukan tugas itu (2), meskipun dengan syari'ah yang berbeda (QS. Al Maidah: 48), namun untuk tujuan yang sama (QS. An Nahl: 36). Para rasul adalah cahaya yang memancar bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allah Swt (3,4). Mercu suar bagi manusia, sehingga mereka tidak tersesat mengarungi lautan hidup ini. Dan menerangi hati mereka, sehingga hati mereka bersih, suci dan mencapai alam malakut. Melepaskan diri dari kebinatangan mereka, untuk menuju sifat fithrah mereka yang mulia. Makhluk yang mendapatkan percikan cahaya ruh dari Allah SWT (5).

Allah SWT berfirman tentang pengutusan Rasulullah Saw: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab, Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata" (QS. Ali 'Imran: 164)

Dalam ayat di atas, secara eksplisit diungkapkan, selain menyampaikan ayat-ayat Allah, mengajarkan Al Kitab dan Al Hikmah, beliau juga diutus untuk membersihkan jiwa manusia. Mensucikan ruh mereka kembali dari debu kemusyrikan, kekerasan hati, penyakit-penyakit ruhani dan sebagainya. Dengan sukses, tugas itu beliau laksanakan, sehingga merubah orang-orang Arab yang keras dan paganis, menjadi sahabat-sahabat beliau yang Rabbani. Membentuk sebuah masyarakat yang --meminjam istilah Akbar S. Ahmad --ideal. Mencetak tokoh-tokoh seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali k.w. Dengan ciri-ciri antara lain, keadilan Umar yang tiada tara, sifat pemalu Utsman, kecerdasan Ali yang demikian rupa, kezuhudan Abu Dzar yang tanpa tanding, keluasan ilmu pengetahuan Mu'adz dan seterusnya(6). Malah, lebih jauh lagi, mereka mampu mencapai derajat-derajat yang telah dicapai oleh nabi-nabi dari Bani Israil, kecuali tidak ada kenabian setelah Nabi Saw. Rasulullah Saw. bersabda: "Sahabat-sahabatku seperti nabi-nabi Bani Israil"!. Hal ini, dalam sebuah sya'ir diungkapkan:

"Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina, dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia" (7)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw. bersabda: "Kami para nabi-nabi tidak mewariskan apa-apa"(8). Dan pada hadits yang lain, Rasulullah Saw bersabda pula: "para ulama adalah pewaris nabi-nabi" (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmizi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dalam sahihnya dari hadits Abi Darda). Menyaksikan dua hadits ini, seakan ada kontradiksi dalam dua sabda beliau itu. Namun, jika kita teliti lebih mendalam, kita temukan sebuah pengertian; para nabi tidak mewarisi harta duniawi, tetapi mereka mewarisi risalah kenabian, dan para ulama-lah para pewaris itu. Rasulullah Saw. telah mencetak sahabat-sahabat beliau sebagai pemegang warisan risalah itu. Sehingga, ketika beliau meninggalkan dunia ini, menuju kampung halaman yang abadi di sisi Allah SWT, telah terbina sahabat-sahabat yang handal, dan menguasai tugas sebagai penyambung risalah itu, yaitu menyebarkan ilmu pengetahuan dan cahaya Ilahiyah. Ciri pengetahuan mereka amat khas, yaitu penguasaan literer dengan baik terhadap nash-nash yang ditinggalkan oleh Rasulullah Saw. serta kehalusan ruhani yang tinggi pula. Misalnya, tentang Abu Bakar r.a. Rasulullah Saw bersabda, keutamaan Abu Bakar r.a. bukanlah karena banyaknya puasa yang ia lakukan, juga bukan karena banyaknya salat, meriwayatkan hadits, berfatwa atau berbicara, namun karena sesuatu yang tertanam dalam hatinya (Hadits diriwayatkan oleh Tirmizi Al Hakim dalam Nawadir dari perkataan Abi Bakar bin Abdillah al Mazini. Tetapi Al Iraqi tidak mendapatkan redaksi ini sebagai hadits marfu').

Ulama atau fuqaha, pada masa kaum salaf, menurut Al Ghazali, adalah mereka yang menguasai ilmu-ilmu syari'ah secara literer, juga mereka yang menguasai ilmu akhirat atau ruhani(9). Ketika Sa'd bin Ibrahim ditanya: Siapa penduduk Madinah yang paling faqih? beliau menjawab: "Orang yang paling bertakwa kepada Allah Swt". Jawaban tersebut --menurut Al Ghazali--menunjukkan, kefaqihan seseorang ditentukan oleh pengetahuannya akan ilmu-ilmu akhirat dan rahasia kedalaman hati, apa yang merusak amal perbuatan, pengetahuan akan hinanya dunia, keinginan yang menggebu untuk mencapai akhirat dan mempunyai ketakutan yang tinggi kepada Allah Swt di dalam hatinya.

Dan hal itu tampak terwujudkan dalam diri fuqaha Islam generasi pertama, para sahabat, tabi'in dan imam-imam mazhab. Namun, menurut Al Ghazali, pada masa-masa selanjutnya, istilah ini berubah menjadi bentuk yang lain. Hingga hanya terbatas pada masalah-masalah hukum, fatwa dan kemampuan menghapal pendapat-pendapat tentang suatu masalah hukum.

Pada perkembangan selanjutnya, terutama ketika fiqih telah dikodifikasikan dan tidak ada tempat bagi ilmu ruhani tersebut dalam bab-bab fiqih itu, demikian juga hadits, tafsir dan ilmu-ilmu lainnya, dan masing-masing ilmu tersebut telah membentuk suatu konsep keilmuan tersendiri, maka para ulama yang mempunyai tanggungjawab terhadap warisan ruhaniah dari Rasulullah Saw tersebut, juga mengambil kebijaksaan yang sama: membentuk suatu konsep tersendiri tentang ilmu mereka.

Di kemudian hari, ilmu itu mereka namakan tasawwuf.

Catatan:

1. "Di negeri asing, ku tenggelam dalam tangisan Seperti perantau yang kesepian Dan kini ku menyadari Sebaiknya, negeriku tak ku tinggalkan Mengapa ku tinggalkan Tempat Sang Kekasih berada." Lihat Abi Abdirrahman As-Sulami, Thabaqat Shufiyah, Mathabi' Sya'b, tahun 1380 H., halaman: 17, dan Abu Al Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad bin Aly Al Anshary Asy-Syafi'i al Mashry, (Asy-Sya'rani), Thabaqat al Kubra, Darul Jail, Bairut, 1408 H/1988M, Juz I, hal. 75.

2. Lihat: QS. Al Baqarah: 87, 253; Ali Imran: 144, 183, 184; An Nisa: 165 dst.

3. Lihat: QS. Al Maidah: 15, dan ayat-ayat sejenisnya..

4. Tentang hal ini, dapat dibaca lebih lanjut pada: Syeikh Muhammad Madli Abul Aza'im, Islam dinullah wa fithratuhu 'l lati fathara 'n nasa 'alaiha, Dar Madinah Munawwarah, cet.II, 1401 H/1980 M, hal. 79 dst.

5. Lihat: QS. Al Hajar: 29, dan ayat-ayat sejenisnya.

6. Lihat: Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Nafahat Min Nur Al Quran, Juz 1, Strand Al Haditsah, 1994, Cairo, hal:30.

7. "Dahulu kami hanyalah orang-orang bodoh nan hina-dina, dengan bimbingan Thaha (Saw), kami menjadi tokoh-tokoh mulia". Lihat catatan di atas.

8. Berdasarkan hadits ini, maka Abu Bakar r.a. tidak memberikan tanah Fadak kepada Fathimah r.a., karena dengan demikian berarti, secara otomatis harta Rasulullah Saw menjadi milik umat.

9. Lihat, Imam Abu Hamid Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz 1, Darul Hadits, Cairo,1992, hal. 57

Ma'rifatullah

Secara umum, Ma'rifatullah artinya Mengenal Allah. Dan kata-kata ma'rifat itu sendiri dalam bahasa arab mengandung makna ihathah yang artinya mengetahui secara penuh, maka makrifatullah dapat diartikan dengan mengenal atau mengetahui identitas zat Allah secara keseluruhan. Namun bila diartikan dengan sekedar mengenal eksistensi Allah maka siapapun dari kita pasti mampu mengetahui bahkan meyakini keberadaan-Nya, baik melalui berbagai kajian dan penelitian. Lalu bagaimana bila mengenal/mengetahui identitas Zat Allah dengan sempurna? Inilah yang mustahil! Walau melalui suluk dan banyak berdzikir dalam tarekat. Karena Rasulullah Saw. saja tidak mampu memuji Allah karena tidak mampu mengenal/mengetahui-Nya, sebab mampu memuji adalah tanda telah mengetahui. Beliau bersabda:

" لا أحصي ثناء عليك

أنت كما أثنيت على نفسك"

Jika Rasulullah Saw. yang menjadi makhluk termulia dan teragung di sisi Allah tidak mampu memuji Allah ... Apakah kita yang sehina dan sekotor ini mengaku-ngaku telah Ma'rifatullah?