Thursday, 17 April 2008

Pengantar Singkat Tentang Tasawwuf III

Proses pencarian dan pencapaian dalam tasawwuf, seperti didefinisikan oleh Abu Bakar al Kattani itu, secara aplikatif telah dilalui oleh Imam Al Muhasiby dan imam Al Ghazali. Dalam kitabnya Al Munqiz Min-a 'dl-Dlalal imam Al Ghazali menulis:

"Semenjak mudaku, sebelum aku menginjak usia dua puluh hingga saat ini, ketika aku telah menginjak usia lima puluh tahun, aku selalu mengarungi lautan yang dalam ini. Dengan segala keberanian, menelusuri seluruh segi, dan mempelajari akidah semua firqah, kemudian berusaha membuka rahasia mazhab semuah firqah itu. Agar aku dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, serta antara yang mengikuti sunnah dengan yang membuat bid'ah. Aku tidak memasuki kebatinan kecuali untuk mengetahui kebatinannya, tidak kaum zhahiri (literalis) kecuali agar aku mengetahui hasil kezhahirihannya, juga tidak filsafat kecuali aku hendak mengetahui hakikat filsafatnya, dan tidak kaum mutakallimin kecuali untuk mengetahui hasil akhir kalam dan debat mereka, tidak juga kaum sufi kecuali aku ingin mengetahui rahasia kesufiannya, dan tidak kaum ahli ibadah kecuali aku ingin mengetahui hasil dari ibadahnya, juga tidak kaum zindiq yang tidak mengikuti syari'at kecuali untuk menyelidiki mengapa mereka demikian berani berbuat seperti itu" (1).

Setelah mengkaji sedemikian rupa seluruh firqah dan kecenderungan pemikiran tersebut, akhirnya Al Ghazali berkesimpulan: "Kemudian aku mengetahui dengan yakin, kaum sufi adalah mereka yang benar-benar menuju kepada Allah Swt. Perjalanan hidup mereka adalah yang paling baik. Metode mereka adalah yang paling lurus. Dan akhlak mereka adalah akhlak yang paling bersih. Bahkan, jika digabungkan intelektualitas kaum intelek, kebijaksanaan para bijak-bestari serta pengetahuan ahli tentang rahasia-rahasia syari'ah untuk merubah sedikit saja perjalanan hidup dan akhlak mereka, serta kemudian mengajukkan gantinya yang lebih baik, niscaya mereka tidak akan mampu" (2), (3).

Dengan pembelaan Al Ghazali itu, terutama usahanya menyatukan antara tasawwuf dengan fiqih, dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin", maka tasawwuf mendapatkan penerimaan yang demikian luas. Untuk kasus Indonesia, misalnya, mayoritas para kiyai yang mempunyai pondok besar dan mempunyai pengetahuan fiqih yang luas, juga menguasai tasawwuf. Walaupun pada sebagian orang hanya untuk dirinya sendiri. Tasawwuf kemudian menjadi salah satu rahasia kekuatan Islam. Baik dalam menyebarkan ajaran Islam secara damai, tanpa menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Wali Songo di Indonesia (4). Juga dalam mempertahankan ajaran Islam itu.

Dalam buku From Samarkand to Stornoway : Living Islam, Akbar S. Ahmad melukiskan, betapa dengan kekuatan tasawwuf itu, Islam mampu bertahan di negara-negara yang dianeksasi oleh Rusia yang komunis itu. Di bawah tekanan yang demikian hebat, antara lain orang yang ketahuan membaca Al Quran maupun melakukan shalat langsung masuk penjara, namun, dengan semangat dan ajaran tasawwuf, Islam mampu bertahan dalam tahun-tahun yang penuh penderitaan itu. Maka ketika negara-negara di Asia Tengah itu menemukan kemerdekaannya, wajah Islam segera menyembul kepermukaan. Seperti cendawan di musim hujan (5).

Dalam perjuangan mempertahankan Islam dengan kekuatan senjata, secara jelas peran itu terlihat pada tokoh-tokoh puncak kaum sufi. Mereka terlibat dalam banyak peperangan dan ikut serta di tengah kecamuk peperangan itu. Seperti Syaqiq al Balkhi, Hatim Al Asham, Abu Hasan Asy-Syazili yang turut serta dalam peperangan melawan tentara salib di Manshurah, walaupun matanya saat itu telah buta, juga Abdul Qadir al Jazairi serta Imam Muhammad Madli Abul Azaim, yang disebut terakhir turut berjuang untuk mengembalikan khilafah Islamiyyah paska dihapusnya kekhilafahan di Turki (6).

Dan bagi dunia modern sekarang ini, seperti diakui oleh Martin Van Bruninessen(7) dalam wawancaranya dengan majalah Amanah, kans tasawwuf untuk mengajukan dirinya kepada masyarakat modern amat besar. Bahkan ia dengan tegas mengatakan, tasawwuf akan mampu menembus dan menundukkan Barat. Dalam wawancara dengan majalah Tempo, Seyyed Hossein Nasr mengatakan, tasawwuf adalah inti kekuatan Islam. Ia adalah jantungnya Islam. Tasawwuflah yang dengan menjanjikkan dapat memberikan alternatif kepada masyarakat modern di Barat. Dan Rene Guenon, seorang sarjana Prancis yang kemudian mengganti namanya menjadi Syeikh Abdul Wahid Yahya, telah menggunakan kekuatan tasawwuf itu untuk menyebarkan Islam di seluruh penjuru dunia. Hingga gereja harus mengeluarkan keputusannya untuk melarang masyarakat membaca buku-bukunya. Tentu saja itu dilakukan gereja karena melihat pengaruh yang begitu besar dari buku-bukunya itu (8).

Tokh, dunia telah mengenalnya dan menikmati buku-bukunya, dan itu telah menggetarkan hati banyak orang Barat yang sedang mencari kebenaran. Pada tahun 1977, misalnya, di Oxford telah didirikan sebuah organisasi pengagum pemikiran Ibnu Arabi, The Muhyiddin Ibnu Arabi Society. Sejak 1982 organisasi ini telah menerbitkan sebuah jurnal, yang diberi nama Journal of the Muhyiddin Ibn 'Arabi Society. Organisasi ini secara berkala mengadakan Pertemuan Umum Tahunan dan Simposium Tahunan di tempat-tempat berbeda (9).

Kini Anda telah hadir di dunia ini. Anda juga telah mengenal wajah tasawwuf dalam arti yang sebenar-benarnya. Tujuan kehadiran Anda di dunia adalah menjalani titian rintangan, cobaan, dan karunia dan bahagia yang ada menuju tahapan demi tahapan ke sisi haribaan-Nya. Hanya Dia-lah yang kita tuju. Hanya kepada-Nya-lah hidup kita berserah. Hanya Dia-lah sumber cinta segala cinta kita.

Selamat mempelajari Tasawwuf!

Catatan:

1. Lihat:Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, Al Munqiz Min 'dl-Dlalal, dalam majmu'at rasail Imam Al Ghazali,Darul Kutub al Ilmiyyah, Beirut, cet. I, 1409 H/1988 M, hal. 24-25.

2. Sca. hal. 62

3. Untuk contoh kontemporer proses seperti ini, dapat dibaca pada, Syekh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Muhammad Ali Salamah Sirah wa Sarirah, Darul Iman wal Hayat, pengantar.

4. Lihat: Abdul Hayyie al Kattani, Ummat Islam Indonesia Sejarah Politik dan Peranannya 600-an --1945, MA Attaqwa, 1411 H/1991 M, hal 12-14

5. Lihat; Akbar S. Ahmad, From Samarkand to Stornoway: Living Islam, BBC Books Limited London, 1993, edisi Bahasa Indonesia, hal. 265-267.

6. Lihat: Syeikh Fauzi Muhammad Abu Zaid, Imam Al Azaim Al Mujaddid ash-Shufi, Darul Iman wal Hayat, Cairo, 1412 H/1992M, hal. 49-52.

7. Seorang peneliti Belanda, telah melakukan penelitian tentang tarikat Naqshabandi ke Asia tengah dan Indonesia. Salah bukunya tentang tasawwuf di Indonesia telah diterbitkan. Dan, setelah mempelajari Islam, terutama tasawwuf, ia dengan yakin mengucapkan syahadat.

8. Lihat: Al Madrasah Syaziliyyah, scn. 24, hal. 281 dst.

9. Lihat: Kautsar Azhari Noer, Ibn Al Arabi Wahdat al Wujud dalam Perdebatan, Paramadina, cet. I, 1995, hal. xiv

No comments:

Post a Comment