Thursday, 26 March 2009

Our World

There is a broken heart in every shadow,
hidden secrets corrupting minds,
weakening souls.

The human nature that catches up on even the strongest of man,
with no doubt interfering with our worldly goals
For our aims and ambitions we sacrifice a limb,
the greed for eternal wealth and pleasure.

We witness the cruelty displayed often proudly,
ill minds and intentions you can’t measure.

Where is the peace and has dignity been lost forever?
I fear what we soon will see!

The promise of the final hour whispers fear in the hearts of those who believe.
Our world, will she have her revenge?
Her tenants have abused and misused her kindness.
Will we open our eyes although we’re plagued by lifes blindness?


I Love You, Muhammed

I have a thought that's in my mind,
and I keep it with me all the time,
it's too hard for me to explain,
no amount of words would do justice to this page,

neither can the love I have just be written,
it's all imprinted in a vision I keep hidden,
but to show a small love from all that I have,
is to ripped my heart out and staple it to this pad,
and submit this poem untitled with three words,
The 'I' to represent, the submission of my soul,
and place this above the heart to where it goes,
to only write the 'U' beneath the last row,
to show the love I have is all for his own,
and leave the person reading to view this whole page,
I LOVE YOU, and Muhammed is his name,


Kiat Meringankan Beban Takdir


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Pedihnya bencana menjadi ringan, manakala anda mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang memberi cobaan bagimu. Dzat Yang memnghadapkan takdir-takdir padamu adalah Dia yang mengembalikan padamu agar ada kebaikan ikhtiar darimu.

Allah Ta’ala Maha Indah sifatNya, Mulia tindakanNya, sama sekali tidak bertujuan mencederai hambaNya, kecuali demi kemashlahatan si hamba itu sendiri, untuk meraih anugerah dan keutamaan dariNya. Bukan untuk menyiksa mereka.

Allah Ta’ala telah berfirman kepada NabiNya, “Bersabarlah pada hukum Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu ada dalam penglihatan Kami.” (Ath-Thuur 48), sebagaimana Allah Ta’ala mengambalikan padamu apa yang engkau suka, maka bersabarlah terhadap apa yang ditakdirkan padamu.

Mayoritas orang merasa pedih dengan takdir yang menderanya, semata karena belum faham, bahwa semua itu adalah caraNya menguji mereka. Ujian itu dari Allah jua. Ujian tentu demi peningkatan derajat, dan sekaligus kesiapan ikhtiar yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga anugerah dan keutamaan dari Allah Ta’ala diterima dengan jiwa yang benar.

Inilah perlunya ridlo, sabar dan pasrah jiwa kepadaNya dalam situai dan kondisi apa pun.
Imam Al-Junayd al-Baghdady pernah mengisahkan:
“Pada suatu malam aku tidur di dekat Sary as-Saqathy ra (paman dan sekaligus gurunya), lalu sary membangunkan aku.

“Hai Junaid, aku sepertinya sedang berada di hadapan Allah, dan Allah berfirman padaku, “Hai Sary, aku telah menciptakan makhluk dan semua makhluk itu mengaku telah mencintaiKu. Lantas Aku ciptakan dunia, tiba-tiba 90% dari semua itu lari dariKu dan tersisa 10% saja, Kemudian aku ciptakan syurga, ternyata (yang 10%) itu pun lari dariKu (menuju syurga), hingga tersisa 1% saja. Lantas pada yang tersisa itu Aku berikan sedikit saja cobaan, rupanya mereka pun lari dariKu, tinggal 0,99%. Aku katakan kepada yang tersisa yang masih bersamaKu itu:
“Dunia bukan kalian kehendaki. Syurga juga bukan yang kalian inginkan. Neraka juga bukan membuatmu lari. Lalu apa mau kalian ini?”

“Engkau Maha Tahu apa yang kami mau…” kata mereka.
“Bila Aku memberikan cobaan sejumlah nafas kalian yang tidak bisa dipikul oleh bukit-bukit dan lembah jurang, apakah kalian bersabar?” tanyaKu.

“Bila Engkau adalah Yang Memberikan cobaan, lakukanlah sekehendakMu….” Kata mereka yang tersisa.
“Sungguh mereka kitu adalah benar-benar hamba-hambaKu …”
Karena itu Ibnu Thaillah as-Sakandary melanjutkan:

“Siapa yang menyangka lepasnya KeMaha LembutanNya dari takdirNya (yang keras), sesungguhnya karena sangkaan itu muncul dari piciknya pandangan.”

Seringkali ketika cobaan tiba, orang mengeluhkan, “Wah, Allah tidak sayang lagi padaku…Allah tidak lagi berlemah lembut kepadaku…mungkin karena dosaku, sehingga siksaNya menimpaku, hingga aku kehilangan Maha LembutNya…dsb…”
Kalimat dan keluhan demikian karena melihat pada kerasnya dan wujudnya takdir. Padahal pedih dan keras itu hanya bungkus atas Kelembutan Ilahi, demi Cinta dan KasihNya pada sang hamba. Sebab, tanpa cekaman keras itu sang hamba tidak sadar, tidak bangkit kepadaNya dan tidak tergugah untuk terus bersamaNya.

Di sinilah perlunya Husnudzon kepadaNya, karena justru dengan Husnudzon kepada Allah itu segela derita terbebaskan, segala kegembiraan tumpah padanya, dan segala kemerdekaan jiwa tumbuh berkembang bagai ranum bunga.

Secara psikhologis, bagi yang mengalami cobaan terasa berat untuk memahami kelembutan Ilahi dibalik cobaan itu. Tidak jarang yang justru protes kepada Allah, protes pada kenyataan-kenyataan, protes pada diri sendiri. Inilah yang membuat mereka sulit untuk menghayati makna cobaan.

Namun jika mereka bisa membuka pintu sabar dan gerbang ridlo, pemahaman akan KeMaha Lembutan Ilahi dibalik semua itu, pasti muncul, bahkan akan tumbuh rasa syukur dibalik semua itu. (SN)

Abu Nawas Akan Dihukum Pancung

Cita-cita atau obsesi menghukum Abu Nawas sebenarnya masih bergolak, namun Baginda merasa kehabisan akal untuk menjebak Abu Nawas. Seorang penasihat kerajaan kepercayaan Baginda Raja menyarankan agar Baginda memanggil seorang ilmuwan-ulama yang berilmu tinggi untuk menandingi Abu Nawas. Pasti masih ada peluang untuk mencari kelemahan Abu Nawas. Menjebak pencuri harus dengan pencuri. Dan ulama dengan ulama.

Baginda menerima usul yang cemerlang itu dengan hati bulat. Setelah ulama yang berilmu tinggi berhasil ditemukan, Baginda Raja menanyakan cara terbaik menjerat Abu Nawas. Ulama itu memberi tahu cara-cara yang paling jitu kepada Baginda Raja. Baginda Raja manggut-manggut setuju. Wajah Baginda tidak lagi murung. Apalagi ulama itu menegaskan bahwa ramalan Abu Nawas tentang takdir kematian Baginda Raja sama sekali tidak mempunyai dasar yang kuat. Tiada seorang pun manusia yang tahu kapan dan di bumi mana ia akan mati apalagi tentang ajal orang lain.

Ulama andalan Baginda Raja mulai mengadakan persiapan seperlunya untuk memberikan pukulan fatal bagi Abu Nawas. Siasat pun dijalankan sesuai rencana. Abu Nawas terjerembab ke pangkuan siasat sang ulama. Abu Nawas melakukan kesalahan yang bisa menghantarnya ke tiang gantungan atau tempat pemancungan. Benarlah peribahasa yang berbunyi sepandai-pandai tupai melompat pasti suatu saat akan terpeleset. Kini, Abu Nawas benar-benar mati kutu. Sebentar lagi ia akan dihukum mati karena jebakan sang ilmuwan-ulama. Benarkah Abu Nawas sudah keok? Kita lihat saja nanti.

Banyak orang yang merasa simpati atas nasib Abu Nawas, terutama orang-orang miskin dan tertindas yang pernah ditolongnya. Namun derai air mata para pecinta dan pengagum Abu Nawas tak.akan mampu menghentikan hukuman mati yang akan dijatuhkan. Baginda Raja Harun Al Rasyid benar-benar menikmati kemenangannya. Belum pernah Baginda terlihat seriang sekarang. Keyakinan orang banyak bertambah mantap. Hanya satu orang yang tetap tidak yakin bahwa hidup Abu Nawas akan berakhir setragis itu, yaitu istri Abu Nawas.

Bukankah Alla Azza Wa Jalla lebih dekat daripada urat leher. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah Yang Maha Gagah. Dan kematian adalah mutlak urusanNya. Semakin dekat hukuman mati bagi Abu Nawas; orang banyak semakin resah. Tetapi bagi Abu Nawas malah sebaliknya. Semakin dekat hukuman bagi dirinya, semakin tenang hatinya. Malah Abu Nawas nampak setenang air danau di pagi hari. Baginda Raja tahu bahwa ketenangan yang ditampilkan Abu Nawas hanyalah merupakan bagian dari tipu dayanya Tetapi Baginda Raja telah bersumpah pada diri sendiri bahwa beliau tidak akan terkecoh untuk kedua kalinya.

Sebaliknya Abu Nawas juga yakin, selama nyawa masih melekat maka harapan akan terus menyertainya. Tuhan tidak mungkin menciptakan alam semesta ini tanpa ditaburi harapan-harapan yang menjanjikan. Bahkan dalam keadaan yang bagaimanapun gentingnya. Keyakinan seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Baginda Raja dan ulama itu. Seketika suasana menjadi hening, sewaktu Baginda Raja memberi sambutan singkat tentang akan dilaksanakan hukuaman mati atas diri terpidana mati Abu Nawas. Kemudian tanpa memperpanjang waktu lagi Baginda Raja menanyakan permintaan terakhir Abu Nawas.

Dan pertanyaan inilah yang paling dinanti-nantikan Abu Nawas. "Adakah permintaan yang terakhir"
"Ada Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas singkat.
"Sebutkan." kata Baginda.
"Sudilah kiranya hamba diperkenankan memilih hukuman mati yang hamba anggap cocok wahai Baginda yang mulia." pinta Abu Nawas.
"Baiklah." kata Baginda menyetujui permintaan Abu Nawas...
"Paduka yang mulia, yang hamba pinta adalah bila pilihan hamba benar hamba bersedia dihukum pancung, tetapi jika pilihan hamba dianggap salah maka hamba dihukum gantung saja." kata Abu Nawas memohon.

"Engkau memang orang yang aneh. Dalam saat-saat yang amat genting pun engkau masih sempat bersenda gurau. Tetapi ketahuilah bagiku segala tipu muslihatmu hari ini tak akan bisa membawamu kemana-mana." kata Baginda sambil tertawa.

"Hamba tidak bersenda gurau Raduka yang mulia." kata Abu Nawas bersungguh-sungguh. Baginda main terpingkal-pingkal. Belum selesai Baginda Raja tertawa-tawa, Abu Nawas berteriak dengan nyaring.

"Hamba minta dihukum pancung!" Semua yang hadir kaget. Orang banyak belum mengerti mengapa Abu Nawas membuat keputusan begitu. Tetapi kecerdasan otak Baginda Raja menangkap sesuatu yang lain. Sehingga tawa Baginda yang semula berderai-derai mendariak terhenti. Kening Baginda berkenyit mendengar ucapan Abu Nawas. Baginda Raja tidak berani menarik kata-katanya karena disaksikan oleh ribuan rakyatnya. Beliau sudah terlanjur mengabulkan Abu Nawas menentukan hukuman mati yang paling cocok untuk dirinya.

Kini kesempatan Abu Nawas membela diri. "Baginda yang mulia, hamba tadi mengatakan bahwa hamba akan dihukum pancung. Kalau pilihan hamba benar maka hamba dihukum gantung. Tetapi di manakah letak kesalahan pilihan hamba sehingga hamba harus dihukum gantung. Padahal hamba telah memilih hukuman pancung?" Olah kata Abu Nawas memaksa Baginda Raja dan ulama itu tercengang. Benar-benar luar biasa otak Abu Nawas ini. Rasanya tidak ada lagi manusia pintar selain Abu Nawas di negeri Baghdad ini.

"Abu Nawas aku mengampunimu, tapi sekarang jawablah pertanyaanku ini. Berapa banyakkah bintang di langit?"
"Oh, gampang sekali Tuanku."
"lya, tapi berapa, seratus juta, seratus milyar?" tanya Baginda.
"Bukan Tuanku, cuma sebanyak pasir di pantai."
"Kau ini... bagaimana bisa orang menghitung pasir di pantai?"
"Bagaimana pula orang bisa menghitung bintang di langit?"
"Hahahahaha...! Kau memang penggeli hati. Kau adalah pelipur laraku. Abu Nawas mulai sekarang jangan segan-segan, sering-seringlah datang ke istanaku. Aku ingin selalu mendengar lelucon-leluconmu yang baru!"
"Siap Baginda...!" Lalu Baginda memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang kepada manusia terlucu di negerinya itu.

Sent by
: e-ketawa

Konsisten


"Berapa umurmu, Nasrudin?"
"Empat puluh."
"Lho? dulu, kau menyebut angka yang sama ketika aku menanyakan umurmu itu, dua tahun yang lalu?"
"Ya, aku memang selalu berusaha konsisten dengan apa yang pemah kukatakan."
"Oh, begitukah cara menepati omongan?"
"Masak kau nggak tahu?"

Tuesday, 17 March 2009

Where Are You?

O God,
You are the aim of the call of the sincere,
You enlighten the souls of the friends, (and)
You are the comfort of the hearts of the travellers---
because You are present in the very soul.

I call out, from emotion:
"Where are you?"

You are the life of the soul,
You are the rule (ayin) of speech, (and)
You are Your own interpreter (tarjaman).

For the sake of Your obligation to Yourself,
do not enter us into the shade of deception, (but)
make us reach union (wisal) with You.

Sheikh Ansari - Kashf al_Asrar

Tawassul Kepada Nabi SAW

Kupuji Nabi dengan pujian agar dosaku diampunkan
Karena umurku habis untuk bersyair dan pengabdian

Keduanya mengalungi dosa yang menakutkan
seakan aku hewan sembelihan yang siap dikorbankan

Kuturuti godaan masa muda untuk bersyair dan mengabdi
Tiada satu pun kudapat kecuali dosa dan sesal diri

Alangkah ruginya jiwaku dalam perniagaamya
Tak pernah membeli dan menawar agama dengan dunia

Barang siapa menjual akherat untuk dunia sesaat
Jelas ia tertipu dalam setiap jual beli yang diakad

Jika kuperbuat dosa, janjiku pada Nabi tidaklah gugur
Juga tali hubunganku dengannya tidaklah terputus

Namaku juga Muhammad (Bushiri), jaminanku buat Nabi
Dialah sebaik baik manusia yang tepati janji

Jika kelak di akherat la tak sudi menolongku
Maka alangkah rugi dan celakanya diriku

Tapi mustahil ia tolak para peminta syafaatnya
Atau peminta perlindungannya pulang dengan sia sia

Semenjak kuwajibkan diriku untuk memberinya pujian
Kudapatkan Nabi sebaik baik pemberi pertolongan

Pemberiamya tak luputkan seorangpun pemintanya
Karena hujan mengguyur bunga di bukit secara merata

Dengan pujian ini tidaklah kuinginkan gemerlap dunia
Seperti yang Zuhair mula ketika ia puji Raja Haram

(Syair Sufi Burdah al Bushiri,SN)

Friday, 13 March 2009

The Qur'an

  A Book that is full of answers,
A Book that makes you cry.
A Book that makes you notice,
How much harder you can try.
A Book that makes you realize,
What true love really is...
A Book that gives you direction,
for all of life’s tough biz.
A Book that gives you hope,
that Someone somewhere’s watching over you.
A Book that helps you out,
Through all the times your blue.
A Book that was revealed to our beloved Prophet(SAWS),
over a period of 23 years
Once you put faith into this Book,
You can handle worldly fears.
A gift sent down from Heaven,
A treasure from above,
Written proof that shows us
How blessed we are with Allah(SWT’s) love!

Be Thankful

Be thankful that you don't already have everything you desire,
If you did, what would there be to look forward to?

Be thankful when you don't know something
For it gives you the opportunity to learn.

Be thankful for the difficult times.
During those times you grow.

Be thankful for your limitations
Because they give you opportunities for improvement.

Be thankful for each new challenge
Because it will build your strength and character.

Be thankful for your mistakes
They will teach you valuable lessons.

Be thankful when you're tired and weary
Because it means you've made a difference.

It is easy to be thankful for the good things.
A life of rich fulfillment comes to those who are also
thankful for the setbacks.

GRATITUDE can turn a negative into a positive.
Find a way to be thankful for your troubles and they
can become your blessings.

Tuesday, 10 March 2009

Mencari Ilmu (II)

Dikisahkan dari al Junaid - rahitnahullah - yang mengatakan, “Jika Sari as-Saqathi - rahimahullah - ingin mengajariku sesuatu maka la menanyakan suatu masalah. Suatu hari la pernah bertanya, `Wahai anak muda, apa syukur itu?’ Maka aku menjawabnya, `Syukur ialah Anda tidak bermaksiat kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan kepada Anda.’ Akhirnya ia menganggap baik atas jawabanku. la memintaku untuk mengulang jawabanku tentang syukur sembari berkata, `Bagaimana jawabanmu tentang syukur? Coba ulangi jawabanmu!’ Aku kemudian mengulanginya.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj berkata: Aku dapatkan kisah ini lewat tulisan Abu Ali ar-Rudzabari dari al Junaid.
Diceritakan dari Sahl bin Abdullah - rahimahullah - bahwa ia pernah ditanya tentang masalah-masalah ilmu (tasawuf). Namun la tidak mau menjawabnya. Setelah beberapa waktu, ia berbicara tentang ilmu tersebut dan tampak sangat menguasai dengan balk. Kemudian ia ditanya tentang alasan, mengapa waktu itu la tidak mau berbicara tentang ilmu tersebut. Lalu la menjawab, “Pada saat itu Dzun-Nun masih hidup, sehingga aku sangat tidak suka bicara tentang ilmu ini (tasawuf) ketika la masih hidup. Karena aku sangat menghormatinya.”

Abu Sulaiman ad-Darani - rahimahullah - berkata, “Andaikan di Mekkah ini aku tahu ada seseorang yang bisa memberiku ilmu ma’rifat sekalipun hanya satu kata, niscaya aku akan mendatanginya dengan berjalan kaki, sekalipun jarakyang harus ditempuh seribu farsah, sehingga aku bisa medengar langsung darinya.”
Abu Bakar az-Zaqqaq berkata, ‘Aku mendengar satu kalimat dari al Junaid tentang fana’ sejak empat puluh tahun yang lalu, dimana kalimat tersebut selalu membangkitkanku, sedangkan aku setelah itu dalam ketidaktahuan.”

Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Saya mendengar kisah ini dari az-Zaqqaq.
Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Dikatakan kepada Abu Abdillah al Jalla’ - rahimahullah, “Mengapa ayah Anda disebut dengan al Jalla’?” la menjawab, “Bukan karena kata al Jalla’ ini mengandung arti pembersih karat besi, akan tetapi jika la berbicara kepada hati nurani akan memperlihatkan karat bekas dosa-dosa yang dilakukan.”
Al-Harits al-Muhasibi - rahimahullah - berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia ini adalah orang alim yang mengamal¬kan ilmunya dan orang arif yang berbicara tentang hakikatnya.”

Saya mendengar Ibnu ‘Ulwan berkata, “Jika ada seorang ber¬tanya kepada al Junaid tentang suatu masalah, sedangkan la tidak termasuk dalam kondisi spiritual dari masalah yang ditanyakannya, maka la akan berkata:
‘Tidak ada daya upaya dan kekuatan apa pun kecuali dengan Allah.’
Dan jika orang itu mengulangi lagi pertanyaannya maka ia akan menjawabnya:
’Cukuplah Allah penolong kami dan Dialah sebaik-baik Dzat Yang menjadi Wakil’.” (Q.s. Ali Imran: 173).
Dikisahkan bahwa Abu Amr az-Zujajii - rahimahullah - berkata, “Jika Anda sedang duduk mendengar seorang syekh berbicara tentang suatu ilmu, sementara Anda mau kencing dan hampir tidak bisa ditahan, maka andaikan Anda kencing di tempat Anda duduk akan lebih balk daripada Anda bangkit dari tempat duduk Anda meninggalkan majelis. Sebab kencing masih bisa dicuci dengan air sedangkan apa yang terlewatkan dari ilmu yang ia ajarkan tak mungkin Anda memperoleh kembali untuk selamanya.”

Al-Junaid - rahimahullah - berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu al-Kurraini - rahimahullah, “Jika ada seseorang yang berbicara tentang suatu ilmu yang la sendiri tidak mampu mengamalkannya. Maka yang lebih Anda sukai, kalau kondisinya demi¬kian diam ataukah berbicara?” Kemudian la menundukkan kepala, dan kemudian mengangkatnya kembali sembari berkata, “Jika Anda ahlinya maka bicaralah!”
Asy-Syibli - rahimahullah - berkata, “Bagaimana pendapat Anda tentang suatu ilmu, yaitu ilmu para ulama yang menimbulkan dugaan?”

Sementara itu Sari as-Saqathi - rahimahullah - berkata, “Barangsiapa menghiasi dirinya dengan ilmu, maka kebaikannya adalah kejelekan.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Dari masing-masing kisah ini memiliki keterangan dan kesimpulan yang cukup jelas bagi mereka yang sanggup memahaminya. (SN)

Mencari Ilmu (I)

Syeikh ABu Nashr as-Sarraj-Rahimahullah berkata :
Saya mendengar Ahmad bin Ali al Wajihi berkata:
Saya mendengar Abu Muhammad al Jariri - rahimahullah - berkata, “Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan membuka pintu manfaat.”

Abu Yazid - rahimahullah - berkata, “Barangsiapa tidak bisa mengambil manfaat dari diamnya orang yang berbicara maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraannya.”
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Mereka (kaum Sufi) sangat tidak suka bila lisan melampaui keyakinan hati.”

Disebutkan bahwa Abu Muhammad al Jariri berkata, “Keadilan dan adab ialah hendaknya orang yang mulia tidak membicarakan ilmu ini (tasawuf sehingga Ia ditanya.” Abu Ja’far al-Faraji, sahabat karib Abu Turab an-Nakhsyabi - rahimahullah - berkata, “Aku tinggal diam selama dua puluh tahun tidak bertanya suatu persoalan kecuali bila aku mantapkan terlebih dahulu sebelum aku menyatakan dengan lisanku.”

Abu Hafsh - rahimahullah - berkata, “Tidak dibenarkan berbicara kecuali bagi seseorang yang apabila ia diam malah mendapatkan siksa.”

la juga berkata, ‘Ada seseorang datang pada Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al Jalla’ - rahimahullah - yang menanyakan tentang masalah tawakal. Saat itu ada sekelompok orang (jamaah), maka ia tidak menjawabnya dan masuk ke dalam kamarnya, kemudian la keluar lagi dengan membawa seikat kain yang berisi empat dananiq (mata uang) yang diberikan kepada mereka. Kemudian la berkata kepada mereka, `Dengan uang ini silakan kalian membeli sesuatu.’ Kemudian ia baru mau menjawab apa yang ditanyakan orang tersebut. Kemudian ia ditanya, `Mengapa ia melakukan hal itu?’ Maka la menjawab, Aku malu pada Allah untuk menjawab masalah tawakal sedangkan aku masih memiliki empat dananiq’.”

Dikisahkan dari Abu Abdillah al-Hushri yang berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu Yazdaniar ketika la sedang mencari ilmu, `Aku tidak melihat apa yang ada pada semua makhluk kecuali kabar tentang gaib dan sangat mungkin Anda adalah yang gaib.” Kemudian la berkata, “Coba ulangi apa yang Anda katakan.” Lalu saya menjawabnya, “Saya tidak akan mengulanginya.”

Ibrahim al-Khawwash - rahimahullah - berkata, “Ilmu ini tidak layak kecuali bagi mereka yang mampu mengungkapkan wajd (suka cita ruhani)nya dan berbicara tentang perbuatannya.”
Abu Ja’far ash-Shaidalani - rahimahullah - berkata: Ada seseorang bertanya suatu masalah kepada Abu Said al-Kharraz - rahimahullah. la hanya memberi isyarat tentang masalah yang ditanyakan. Abu Said kemudian berkata, “Kami telah mencapai kedudukan anda dan sepakat dengan apa yang Anda inginkan tanpa harus dengan isyarat dari Anda. Sebab orang yang banyak memberi isyarat pada Allah adalah orang yang paling jauh dari¬Nya.”

Al-Junaid - rahimahullah - berkata, “Andaikan aku tahu, bahwa di kolong langit ini ada ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kami ini (tasawuf), niscaya aku akan berusaha mencarinya dan menemui orang yang memilikinya, sehingga aku mendengar dari mereka tentang ilmu tersebut. Dan andaikan aku tahu, bahwa ada waktu yang lebih mulia daripada waktu kami ini ketika berkumpul dengan para sahabat dan guru kami, dan ketika kami menanyakan berbagai masalah dan mencari ilmu ini, tentu aku akan bangkit mencarinya.”

Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Bagiku tidak ada kelompok manusia dan kaum yang berkumpul untuk mencari ilmu yang lebih mulia dari kelompok ini.
Tidak pula ada ilmu yang lebih mulia dari ilmu mereka. Andaikan tidak demikian, maka aku tak mungkin duduk dan berteman dengan mereka. Namun karena mereka dalam pandanganku adalah seperti apa yang aku ucapkan maka aku lakukan semua itu.”
Abu Ali ar-Rudzabari - rahimahullah - berkata, “Ilmu kami ini adalah ilmu isyarat. Apabila menjadi suatu ungkapan maka akan ringan bobotnya.”

Abu Said al-Kharraz - rahimahullah - berkata, “Aku diberi tahu tentang Abu Hatim al-Aththar dan keutamaannya, dimana ia tinggal di Basrah. Kemudian dari Mesir, aku berangkat menuju Basrah. Sampai di sana kemudian aku masuk masjid Jami` Basrah. Ternyata la duduk di masjid ini, yang di sekelilingnya banyak orang dari sahabat-sahabatnya. la berbicara kepada mereka tentang ilmu. Pertama kali yang aku dengar dari pembicaraannya setelah la melihatku ialah, Aku duduk hanya untuk seseorang. Lalu di mana seseorang tersebut? Dan siapa untukku dengan seseorang tersebut? Kemudian la memberi isyarat padaku, `Orang tersebut adalah Anda.’ Kemudian la berkata, `Menampakkan apa yang menjadikan mereka ahli, membantu mereka apa yang diwajibkan kepada mereka, menjadikan gaib apa yang dihadirkan pada mereka. . Maka hanya untuk-Nya mereka berbuat, dari-Nya dan kepada-Nya mereka kembali’.”

Dikisahkan dari al Junaid - rahimahullah - yang mengatakan, “Andaikan ilmu kami ini dibuang ke tempat sampah, maka setiap orang hanya akan mengambil sesuai dengan ukurannya.”
Dikisahkan dari asy-Syibli, pada suatu hari la pernah berkata kepada anggota majelisnya, “Kalian adalah leontin dari kalung, dimana mimbar-mimbar dari cahaya dipasang untuk kalian dan para malaikat merasa bahagia dengan kalian.” Kemudian ada seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang menjadikan para malaikat merasa bahagia?” la menjawab, “Karena mereka berbicara tentang ilmu ini (tasawuf).”

Saya mendengar Ja’far al-Khuldi berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata:
Sari as-Saqathi - rahimahullah - pernah berkata, “Sebagaimana yang saya dengar, bahwa ada sekelompok orang di masjid Jami` yang duduk di sekeliling Anda.”

Saya jawab, “Ya, benar! Mereka adalah saudara-saudara kami, dimana kami saling
ber-mudzakarah (belajar) ilmu. Masing-masing di antara kami saling mengambil manfaat antara yang satu dengan yang lain.” Kemudian ia berkata, “Alangkah jauhnya wahai Abu al-Qasim (nama panggilan al Junaid), saya sekarang telah menjadi tempat bagi para penganggur.”

Konsistensi Wirid

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
Tidak ada yang meremehkan konsistensi wirid (ketaatan di setiap waktu) kecuali orang yang sangat bodoh, karena warid ( pahala wirid) itu akan di dapat di negeri akhirat, sedangkan taat atau wirid itu akan lenyap bersama lenyapnya dunia ini.

Sedangkan yang lebih utama untuk diprioritaskan adalah yang wujudnya tidak bisa diabaikan. Wirid adalah HakNya yang harus anda laksanakan. Sedangkan warid adalah sesuatu yang anda cari dariNya. Mana yang lebih utama antara sesuatu yang dituntut oleh Allah padamu, dibanding apa yang anda tuntut dari Allah?
Mayoritas ummat ini lebih banyak berburu pahala dan janjinya Allah swt. Dalam segala gerak gerik ibadahnya. Padahal yang lebih utama adalah ibadah dan kepatuhannya itu sendiri. Sebab kepatuhan dan ubudiyah yang dituntut oleh Allah swt, dan menjadi HakNya, itu lebih utama dibanding hak kita yang besok hanya akan bisa kita raih di akhirat.

Sebab kesempatan melaksanakan HakNya saat ini dibatasi oleh waktu dunia, dan akan habis ketika usia seseorang itu selesai. Karena itu semampang di dunia, ibadah, amal, wirid harus diperbanyak sebanyak-banyaknya. Soal pahala dan balasan di akhirat itu bukan urusan kita. Manusia tidak berhak mengurus dan menentukan pahalanya. Semua itu adalah haknya Allah swt. Yang telah dijanjikan kepada kita, karena merasa menginginkannya.
Ibnu Athaillah lalu menegaskan, mana lebih utama tuntutan anda apa tuntutan Allah?
Disinilah lalu berlaku pandangan:
1. Taat itu lebih utama dibanding pahalanya.
2. Doa itu lebih utama dibanding ijabahnya.
3. Istiqomah itu lebih utama dibanding karomahnya.
4. Berjuang itu lebih utama dibanding suksesnya.
5. Sholat dua rekaat itu lebih utama ketimbang syurga seisinya.
6. Bertobat itu lebih utama ketimbang ampunan.
7. Berikhtiar itu lebih utama ketimbang hasilnya.
8. Bersabar itu lebih utama ketimbang hilangnya cobaan.
9. Dzikrullah itu lebih utama dibanding ketentraman hati.
10. Wirid itu lebih utama ketimbang warid.
11. dan seterusnya.

Para sufi sering mengingatkan kita, “Carilah Istiqomah dan jangan anda menjadi pemburu karomah. Sebab nafsumu menginginkan karomah sedangkan Tuhanmu menuntutmu istiqomah. Jelas bahwa Hak Tuhanmu lebih baik dibanding hak nafsumu.”

Abu Syulaiman ad-Darany menegaskan, “Seandainya aku disuruh memilih antara sholat dua rekaat dan masuk syurga firdaus, sungguh aku memilih sholat dua rekaat. Karena dalam dua rekaat itu ada Hak Tuhanku, sedangkan dalam syurga firdaus hanya ada hak diriku.”