Sunday, 6 September 2009

Penduduk Ahli Sorga

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَاعِفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رضي الله عنه : إِنْ كَانَتْ الْأَمَةُ مِنْ إِمَاءِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَنْطَلِقُ بِهِ حَيْثُ شَاءَتْ

(صحيح البخاري)

Rasulullah SAW bersabda :
“Maukah kukabarkan pada kaliam siapa penduduk sorga?, semua yg lemah dan tertindas dan rendah hati, jika mereka bersumpah (berdoa) dengan Nama Allah niscaya Allah kabulkan”. (Shahih Bukhari)

Berkata anas bin Malik ra : “Jika seorang budak miskin diantara penduduk di Madinah menggenggam tangan Rasul saw lalu mengajak beliau saw, maka beliau saw akan ikut kemanapun budak itu mau membawa beliau saw” (Shahih Bukhari)

Spiritualitas Abu Dzarr al-Ghifari


Kehidupan sufi tidaklah seperti yang dibayangkan orang selama ini; di ruang gua yang sempit di tengah hutan atau di puncak menara. Stigma mementingkan kesalehan pribadi dan mengabaikan kesalehan sosial yang selalu dilekatkan pada ajaran spiritual ini mungkin perlu ditelaah ulang. Jika kita mau merunut akar sejarah sufi hingga zaman sahabat Nabi, justru kita akan menemukan pribadi-pribadi yang sangat membenci dan menentang terjadinya ketimpangan sosial.

Abu Dzarr al-Ghifari adalah tokoh sufi yang sangat disegani di kalangan sahabat. Meskipun enggan dengan kekayaan, ia sangat memikirkan kesejahteraan rakyat. Beliau tidak henti-hentinya menyuarakan pemerataan ekonomi di masyarakat. Ia tidak rela melihat ketimpangan dan gap yang curam antara si miskin dan si kaya. Ia berteriak dari Syiria hingga ke pusat pemerintahan Islam di Madinah agar si kaya tidak menumpuk kekayaan pribadi.

"Wahai orang-orang kaya, bantulah yang miskin. Orang-orang yang menumpuk kekayaan dan tidak mendermakannya di jalan Allah, akan dipanggang di neraka." Kalimat itu seringkali diteriakkan oleh Abu Dzarr di Syiria, pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Serentak, rakyat kecil yang berekonomi lemah menjadi pendukung Abu Dzarr. Mereka meneriakkan kalimat yang sama di seluruh penjuru Syiria—mirip orasi massif kaum proletar dalam pergulatan sosialisme modern.

Orang-orang kaya merasa terganggu dengan "kritik" tajam Abu Dzarr tersebut, hampir mirip barangkali dengan kondisi para borjuis di masa Perang Dingin yang sangat risih dengan ide sosialisme. Mereka mengadu kepada pemerintah Syiria. Mu`awiyah, yang saat itu menjabat Gubernur Syiria, segera mengirim Abu Dzarr ke Khalifah Ustman di Madinah.

Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr mempertegas pandangannya bahwa orang-orang kaya tidak semestinya menumpuk harta. Ia kemudian membaca firman Allah dalam Surah at-Taubah bahwa orang-orang yang menumpuk emas-perak dan tidak dinafkahkan di jalan Allah, mereka akan mendapat siksa yang pedih dan dipanggang di neraka.

Di hadapan Khalifah, Abu Dzarr didebat oleh Ubay bin Ka`b. Ia bilang: "Tidak masalah, orang kaya menyimpan harta, asal ia memenuhi kewajiban yang terkait dengan kekayaannya itu". Abu Dzarr berang. Beliau tak bersikeras dengan pandangannya. "Aku tidak rela dengan orang-orang kaya, sehingga mereka membagikan hartanya dan berbuat baik kepada orang di sekelilingnya ….," tegasnya kepada Khalifah.

Abu Dzarr dengan segala kesufiannya memiliki kepekaan sosial yang begitu tinggi terhadap kondisi masyarakat di sekelilingnya. Ia hidup berzuhud, tidak suka harta, tapi memiliki gagasan yang revolusioner mengenai kesejahteraan.

Dengan gagasannya itu, Abu Dzarr dianggap sebagai simbol pembela orang-orang kecil yang proletar. Ide sosialisme Islam semacam Abu Dzarr inilah yang kemudian diusung oleh kelompok Islam sosialis Indonesia beberapa dekade setelah kemerdekaan. Beberapa tokoh Muslim sosialis meneriakkan pembelaan terhadap rakyat kecil dengan menggunakan kata mustadl`afin, sebuah term yang akrab sekali dengan pembelaan Alquran terhadap Muslimin yang tertindas di Mekkah. Mereka menemukan akarnya dalam Islam dan menjadikannya dasar atas kecenderungan mereka yang memihak terhadap paham sosialisme yang diadopsi dari Eropa pada masa Perang Dingin.

Meski sama-sama pembelaan terhadap rakyat jelata, ide dan semangat Abu Dzarr sangat berbeda dengan sosialisme modern. Abu Dzarr tidak mendasarkan paham ekonominya sebagai gerakan politik. Beliau tidak memiliki kepentingan dan tendensi apa pun dengan pahamnya itu.

Meskipun ada yang menengarai bahwa beliau dipengaruhi oleh Abdullah bin Saba', politisi pengacau pada masa pemerintahan Utsman. Bahkan, adapula yang berupaya mengaitkan paham Abu Dzarr dengan paham sosialisme ekstrim Mazdak di Persia, yang menyatakan bahwa harta dan wanita adalah aset umum yang tidak bisa menjadi milik pribadi. Namun menurut saya ini terlalu berlebihan.

Abu Dzarr tidak dipengaruhi oleh siapa pun. Beliau membenci penimbunan kekayaan semenjak awal masuk Islam. Dan, pandangan itu terus beliau pegang sampai dijemput ajal sendirian di Rabdzah, sebuah pelosok di timur Madinah.

Sebagai sufi yang tak memiliki kecintaan apapun terhadap harta, Abu Dzarr sangat risih dengan watak serba materialistik pada saat itu. Bukan karena sentimen terhadap orang-orang kaya, tapi berjuang menghadang watak rakus yang menjalar dengan sangat cepat dan mengakar di tengah-tengah masyarakat.
Fokus Abu Dzarr bukan mengubah orang miskin menjadi kaya, tapi mengubah watak orang-orang kaya agar tidak rakus, tertumpu pada materi dan gila harta.
Ketimpangan sosial di sekitarnya ia jadikan sebagai sarana untuk mengubah moralitas orang-orang kaya agar mau berbagi, tidak menumpuk kekayaan dan tidak "mempertuhankan" materi.

Abu Dzarr memberikan warna yang unik dalam tasawuf dan paham kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi beliau suka hidup miskin, di sisi lain beliau meneriakkan pemerataan ekonomi dan mengecam orang-orang kaya.

Protesnya terhadap orang-orang kaya, bukan karena dirinya miskin. Tapi, karena muak dengan kecenderungan materialistik mereka.
Dari situ yang muncul sebagai esensi dalam paham ekonomi sufistik Abu Dzarr adalah pembentukan moralnya, sedangkan pemerataan ekonomi atau kesejahteraan bersama merupakan efek dari pembentukan moral itu. Ekonomi sufistik Abu Dzarr ini bisa dinalar dengan logika ekonomi dan tasawuf sekaligus. Logika ekonominya adalah jika orang-orang kaya menjadi zuhud, maka seluruh komponen masyarakat akan sejahtera. Sedangkan logika sufistiknya adalah jika orang-orang kaya mau berbagi, maka mereka menjadi orang-orang yang zuhud dan moral tinggi.

Sebagai falsafah hidup pribadi atau gerakan spiritual, teori ekonomi sufistik ala Abu Dzarr adalah sebuah ide yang betul-betul cemerlang. Tapi, untuk menjadi ideologi masyarakat, teori Abu Dzarr ini hampir menjadi sebuah utopia. Mungkin karena itu juga, Ustman berkata sebagai jawaban atas desakan Abu Dzarr: "Wahai Abu Dzarr, tidak mungkin kita membawa masyarakat menjadi zuhud semua. Yang harus aku lakukan adalah mengatur mereka dengan hukum Allah dan memberikan anjuran agar mereka hidup sederhana."taq/ad

Sumber : Republika Newsroom

Adab menziarahi Ulama (sebuah kisah)

Ada kalanya seorang murid ingin menjumpai untuk bersilaturahmi ataupun mengambil ilmu dan berkah dari ulama. akan tetapi terkadang ada niat ataupun bisikan hati yang berbeda yang bisa mengotori keberkahan dari pertemuan tersebut.
Dibawah ana masukkan sedikit cerita kisah didalam kitab
Al-Kawakib ad-Duriyyah ‘ala al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Ajlaa’ as-Saadat an-Naqsyabandiah oleh Syaikh ‘Abdul Majid bin Muhammad bin Muhammad al-Khani asy-Syafie

Shaikh Abdul Qadir Jilani diusia mudanya adalah seorang yang sangat jenius, cerdas dan gemar menuntut ilmu. Beliau mempunyai dua orang sahabat yaitu Ibnu as-Saqa dan Abu Said Abdullah Ibnu Abi Usrun, keduanya juga dikenal sebagai sosok yang cerdas.
Suatu saat Shaikh Abdul Qadir Jilani benerta kedua temannya sepakat untukm
mengunjungi seorang waliAllah yang bernama Syaikh Yusuf al-Hamdani [440H – 535H: Beliau Abu Ya’qub Yusuf ibn Ayyub ibn Yusuf ibn al-Husain al-Hamdani adalah murid kepada Syaikh Abu ‘Ali al-Farmidhi dan guru kepada Shaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani – Masyaikh diTariqah Naqsyabandi. Kepada Syaikh Abdul Khaliq inilah dinisbahkan ‘amalan khatam khawajakhan dan yang mengatakan Syaikh Abu ‘Ali al-Farmidhi adalah guru kepada Imam al-Ghazali], yang dikenali sebagai al-Ghaus. Al-Ghaus adalah seorang ahli ibadah yang shaleh, waliAllah yang tinggal di pinggir kota. Namun beliau dikunjung banyak orang.

Sebelum berangkat, Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun berdiskusi mengenai niat atau maksud dari ziarah yang ingin mereka lakukan. Ibn as-Saqa berkata : Aku akan menanyakan persoalan yang susah agar ia bingung dan tidak bisa menjawabnya.
kemudian Ibn Abi Usrun juga berkata: Aku akan ajukan pertannyaan ilmiah, dan aku ingin melihat apakah yang ingin beliau katakan.
Akan tetapi Syaikh ’Abdul Qadir al-Jailani hanya diam membisu. Maka bertanyalah Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun kepada beliau: Bagaimana pula dengan engkau, wahai Abdul Qadir?
Syaikh Abdul Qadir menjawab: Aku berlindung dengan Allah dari mempertannyakan permasalahan yang sedemikian. Aku hanya ingin ziarah untuk mengambil barokah darinya

Kemudian berangkatlah tiga shahabat ini ke rumah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghaus. Setelah dipersilahkan masuk oleh al-Ghaus, beliau meninggalkan mereka seberapa ketika. Setelah menunggu agak lama, barulah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghaus keluar dengan pakaian kewaliannya untuk menemui mereka, dan berkata:

wahai Ibn as-Saqa, kamu berkunjung ke mari untuk mengujiku dengan permasalahan demikian, jawabnya adalah demikian (Syaikh Yusuf al-Hamdani menjelaskan jawabannya beserta dengan nama kitab yang dapat dijadikan rujukan). Ia kemudian berkata kepada Ibnu as-Saqa, Keluarlah kamu! Aku melihat api kekufuran menyala-nyala di antara tulang-tulang rusuk mu.

Sedangkan kamu, ya Ibnu Abi Usrun, kamu ke mari dengan tujuan menanyakan permasaalahan ilmiah, jawabnya adalah demikian. Beliau, Syaikh Yusuf al-Hamdani lalu menjelaskan jawabannya berserta nama kitab yang membahas persoalan itu. Keluarlah kamu! Aku melihat dunia mengejar-ngejar kamu.

Kemudian Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghaus melihat kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, lantas berkata: Wahai anakku Abdul Qadir, Engkau diridhai Allah dan RasulNya dengan adabmu yang baik. Aku melihat engkau kelak akan mendapat kedudukan di Baghdad dan memberi petunjuk kepada manusia. Apa yang kamu ingin kan insyaallah akan tercapai. Aku melihat bahawa kamu nanti akan berkata “Kedua kakiku ini berada di atas pundak setiap para wali”.

Mereka bertiga kemudian keluar dari rumah al-Ghaus.

Beberapa tahun kemudian, Ibnu as-Saqa diperintahkan raja untuk berdebat dengan pemuka agama Nashrani. Perdebatan ini atas permintaan Raja kaum Nashrani. Penduduk negeri telah sepakat bahawa mereka sebaiknya diwakili oleh Ibn Saqa. Dialah orang yang paling cerdas dan alim di antara kita, kata mereka. Maka berangkatlah Ibn Saqa untuk berdebat dengan pemuka agama Nashrani. Sesampainya Ibnu Saqa di negeri kaum Nashrani, dia terpikat dengan seorang wanita pada pandangan pertamanya. Lalu dia menghadap ayah si wanita untuk meminangnya. Ayah perempuan itu menolak, melainkan jika Ibn Saqa terlebih dahulu memeluk agama mereka (nashrani). Dia pun dengan serta merta menyatakan persetujuan dan memeluk agama mereka, menjadi seorang Nashrani.

kemudian Ibnu Abi Usrun, dia ditugaskan raja iaitu Sultan as-Shaleh Nuruddin asy-Syahid, untuk menangani urusan wakaf dan sedekah. Akan tetapi kilauan dunia selalu datang menggodanya dari berbagai penjuru hingga akhirnya ia jatuh dalam pelukannya.

Adapun Shaikh Abdul Qadir, kedudukannya terus menjulang tinggi disisi Allah juga disisi manusia sehingga sampai suatu hari beliau berkata “Kedua kakiku ini berada di atas leher setiap wali”. Suara beliau didengar dan dipatuhi oleh seluruh wali ketika itu. –

Demikian kisah diatas, kita bisa melihat bagaimana berkah yang didapat oleh syeikh abdul qadir al jilani yang menjadikannya seorang sulthon Awlia di jamannya.
Mudah-mudahan kita bisa mencontoh Syeh Abul Qadir Al Jilani untuk menjaga ADAB ketika bertemu dengan seorang Ulama

Sumber : Alfanshuri

Ajarilah Aku


Saat kutulis syair ini hari menjelang senja
Saat berbisik hati ini malam pun tiba
Dimana Kau sembunyikan mimpiku
Dimana Kau akan tentukan takdirku
Tiada selain Engkau yang dapat mengabulkan
Segenap doa yang slalu kupanjatkan siang dan malam

Batinku hampa tanpa isi
Alam pun mulai terasa sunyi dikala menguak tabir kelam
Hening…Diam…namun Suci
Hamba tafakur menyepi sendiri dikeheningan malam

Ya Rabb….
Demi NamaMu yang Agung memenuhi ruang batinku
Ajarilah aku menyempurnakan perasaan didalam kesabaran
Dan lembutkanlah lidahku menyebut namaMU agar tak kelu disaat sukma tinggalkan raga
Demi NamaMu jadikanlah setiap langkahku penuh dengan hikmah.
Karena ini juga takdir dari Mu yang terukir ditelapak tangan

Keyakinan

Hembusan angin senja ditengah laut Atlantic
Membisikan sesuatu untuk ku simpan dimalam hari
Rona merah semburat matahari yang mulai terbenam
Adalah....
Seikat puisi pengembara yang tersimpan dikedalaman jiwa ini

Asalamualaika Ya Nabi Khaidir....
Penghuni abadi dasar samudera yang penuh misteri
Ajarilah aku bagaimana semestinya
Memeluk ombak bersama denyut nadi yang sekali waktu dapat terhenti

Ya Rabb....
Demi NamaMu Yang Maha Agung
Yang nyawaku ada didalam genggaman Mu
Kesejahteraan serta salam kusampaikan lewat iman yang terpatri dihati
Kepada utusan Mu yang bersemayam dilautan

Bahwa sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
INNALAHA ALA KULI SYA´IN YASIR
Sesungguhnya Allah atas setiap berbuat sesuatu amatlah mudah.

Friday, 4 September 2009

Rumi Poem: "Akal versus Cinta"

Di balik tirai bernoda darah,

Cinta telah menyebar ketamannya
Kekasih sedang sibuk dengan keindahan Cinta
yang susah untuk dijelaskan
Akal mengatakan: Keenam arah adalah batas, tidak ada yang di luar mereka.
Cinta mengatakan: Ada jalan, dan saya melanjutkan perjalanan berkali-kali;
Cinta telah mendeteksi bahwa pasar di luar pasar.
Akal mengatakan: Jangan menginjakkan kaki di tanah penghancuran;
Tidak ada apa pun di sana kecuali duri.
Cinta mengatakan: Orang-duri yang Anda rasakan hanya dalam diri Anda!
Diam! Hapus keberadaan duri dari kaki hati Anda;
sehingga Anda dapat melihat taman didalamnya

by Sufi Road

Mengejar Lailatur Qodar

Menurut Syeikh Abu Hasan Assazili dari kitab Hasyiah al-Qalyubi , ada beberapa rumusan yang dibuat beliau dan selama beliau mengamalkannya, beliau tidak pernah melewatkan Lailatul Qodar sejak masa baligh, yaitu :

Jika awal Ramadhan hari Ahad atau Rabu, maka lailatul qadrnya malam ke-29;
Jika awal Ramadhan hari Jumaat atau Selasa, maka lailatul qadrnya malam ke-27;
Jika awal Ramadhan hari Khamis, maka lailatul qadrnya malam ke-25;
Jika awal Ramadhan hari Sabtu, maka lailatul qadrnya malam ke-23;
Jika awal Ramadhan hari Isnin, maka lailatul qadrnya malam ke-21.


Selain rumusan diatas, Banyak ulama-ulama kita yang mengajarkan untuk mengejar lailatul qodar di 10 hari terakhir bulan ramadhan. ini dilakukan berdasarkan hadits riwayat asy-Syaikhan, Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, daripada Sayyidatina 'A-isyah r.anha bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:-
تحروا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان
"Carilah lailatul qadr pada 10 terakhir dari bulan Ramadhan"
Ada juga ulama-ulama yang menetapkan lailatul qodar dengan malam tertentu dalam setiap tahun yaitu malam ke-27 Ramadhan
ini berdasarkan beberapa hadits yaitu diantaranya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad yang shohih kepada Sayyidina Ibnu 'Umar r.anhuma di mana Rasulullah s.a.w. bersabda:-
من كان متحريها فاليتحرها ليلة السابع و العشرين
"Sesiapa yang hendak mencarinya,maka carilah ia pada malam ke - 27"

Mudah-mudahan kita bisa diberikan hidayah dari Allah untuk bertemu dengan malam istimewa ini. yaitu dengan terus melakukan amal-amal soleh dan meningkatkan amal ibadah dengan penuh ke ikhlasan dan keimanan yang ditujukan hanya untuk mengharap Ridha dari Allah SWT selama bulan ramadhan, tidak hanya di malam-malam tersebut.
Sumber: Bahrus shofa

Puasa ala Sufi menurut Imam Al-Ghozaly (II)


Syarat-syarat Batin
Puasa khusus adalah jenis ibadah yang diamalkan sebagaimana oleh orang orang saleh. Puasa ini bermakna menjaga seluruh organ tubuh manusia agar tidak melakukan dosa dan harus pula memenuhi keenam syaratnya :

1. Tidak Melihat Apa yang Dibenci Allah Swt.
Suatu hal yang suci, menahan diri dari melihat sesuatu yang dicela (makruh), atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah swt. Nabi Muhammad saw. bersabda, "pandangan adalah salah satu dari panah-panah beracun milik setan, yang telah dikutuk Allah. Barangsiapa menjaga pandangannya, semata mata karena takut kepada Nya, niscaya Allah swt. akan memberinya keimanan, sebagaimana rasa manis yang diperolehnya dari dalam hati. " (H.r. al Hakim, hadis shahih). Jabir meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa seseorang: berdusta, mengurnpat, menyebar isu (fitnah), bersumpah palsu dan memandang dengan penuh nafsu."

2. Menjaga Ucapan
Menjaga lidah (lisan) dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata keji dan kasar, melontarkan kata kata permusuhan (pertentangan dan kontroversi); dengan lebih banyak berdiam diri, memperbanyak dzikir dan membaca [mengkaji] al-Qur'an. Inilah puasa lisan. Said Sufyan berkata, "Sesungguhnya mengumpat akan merusak puasa! Laits mengutip Mujahid yang berkata, 'Ada dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong."
Rasulullah saw. bersabda, "Puasa adalah perisai. Maka barangsiapa di antaramu sedang berpuasa janganlah berkata keji dan jahil, jika ada orang yang menyerang atau memakimu, katakanlah, Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa'!" (H.r. Bukhari Muslim).

3. Menjaga Pendengaran
Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela; karena setiap sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Itulah mengapa Allah swt. tidak membedakan antara orang yang suka mendengar (yang haram) dengan mereka yang suka memakan (yang haram). Dalam al Qur'an Allah swt. berfirman, "Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tiada halal." (Q.s. 5: 42).
Demikian juga dalam ayat lain, Allah swt. berfirman, "Mengapa para rabbi dan pendeta di kalangan mereka tidak melarang mereka dari berucap dosa dan memakan barang terlarang?" (Q.s. 5: 63).
Oleh karena itu, sebaiknya berdiam diri dan menjauhi pengumpat. Allah swt. berfirman dalam wahyu Nya, 'Jika engkau (tetap duduk bersama mereka), sungguh, engkaupun seperti mereka ..." (Q.s. 4: 140). Itulah mengapa Rasulullah saw. mengatakan, "Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam dosa." (H.r. at Tirmidzi).

4. Menjaga Sikap Perilaku
Menjaga semua anggota badan lainnya dari dosa: kaki dan tangan dijauhkan dari perbuatan yang makruh, dan menjaga perut dari makanan yang diragukan kehalalannya (syubhat) ketika berbuka puasa. Puasa tidak punya arti apa apa bila dilakukan dengan menahan diri dari memakan yang halal dan hanya berbuka dengan makanan haram. Barangsiapa berpuasa seperti demikian, bagaikan orang membangun istana, tetapi merobohkan kota. Makanan yang halal juga akan menimbulkan kemudharatan, bukan karena mutunya tetapi karena jumlahnya. Maka puasa dimaksudkan untuk mengatasi hal tersebut. Karena didera kekhawatiran, atau karena sakit yang berkepanjangan, seseorang dapat memakan obat secara berlebihan.

Tetapi jelas tidak masuk akal jika kemudian ada yang menukar obat dengan racun. Makanan haram adalah racun berbahaya bagi kehidupan beragama; sedang makanan halal ibarat obat, yang akan memberikan kemanfaatan apabila dimakan dalam jumlah cukup, tidak demikian halnya dalam jumlah berlebihan. Memang, tujuan puasa adalah mendorong lahirnya sikap pertengahan.

Bersabda Rasulullah saw, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali lapar dan dahaga saja!" (H.r. an Nasa'i, Ibnu Majah). Ini ada yang mengartikan pada orang yang berpuasa namun berbuka dengan makanan haram. Tetapi ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa, yang menahan diri dari makanan halal tetapi berbuka dengan daging dan darah manusia, dikarenakan mereka telah merusak puasanya dengan mengumpat orang lain. Lainnya lagi menafsirkan bahwa mereka ini berpuasa tetapi tidak menjaga anggota tubuhnya dari berbuat dosa.

5. Menghindari Makan Berlebihan

Berbuka puasa dengan makan yang tidak berlebihan, sehingga rongga dadanya menjadi sesak. Tidak ada kantung yang lebih tidak disukai Allah swt. selain perut yang penuh (berlebihan) dengan makanan halal. Dapatkah puasa bermanfaat sebagai cara mengalahkan musuh Allah swt. dan mengendalikan hawa nafsu, bila kita berbuka menyesaki perut dengan apa yang biasa kita makan siang hari? Terlebih lagi, biasanya di bulan puasa masih disediakan makanan tambahan, yang justru di hari-hari biasa tidak tersedia.

Sesungguhnya hakikat puasa adalah melemahkan tenaga yang biasa dipergunakan setan untuk mengajak kita ke arah kejahatan. Oleh sebab itu, lebih penting (esensial) bila mampu mengurangi porsi makan malam dalam bulan Ramadhan dibanding malam malam di luar bulan Ramadhan, saat tidak berpuasa. Karenanya, tidak akan mendapatkan manfaat di saat berpuasa bila tetap makan dengan porsi makanan yang biasa dimakan pada hari hari biasa. Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya pada penyucian jiwa.

Oleh karena itu, barangsiapa telah "meletakkan" kantung makanan di antara hati dan dadanya, tentu akan buta terhadap karunia tersebut. Meskipun perutnya kosong, belum tentu terangkat hijab (tabir) yang terbentang antara dirinya dengan Allah, kecuali telah mampu mengosongkan pikiran dan mengisinya dengan mengingat kepada Allah swt. semata. Demikian adalah puncak segalanya, dan titik mula dari semuanya itu adalah mengosongkan perut dari makanan.

6. Menuju kepada Allah Swt. dengan Rasa Takut dan Pengharapan
Setelah berbuka puasa, selayaknya hati terayun ayun antara takut (khauf) dan harap [raja']. Karena siapa pun tidak mengetahui, apakah puasanya diterima sehingga dirinya termasuk orang yang mendapat karunia Nya sekaligus orang yang dekat dengan Nya, ataukah puasanya tidak diterima, sehingga dirinya menjadi orang yang dicela oleh Nya. Pemikiran seperti inilah yang seharusnya ada pada setiap orang yang telah selesai melaksanakan suatu ibadah.

Dari al Hasan bin Abil Hasan al Bashri, bahwa suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak. Hasan al Bashri lalu berkata, 'Allah swt. telah menjadikan Ramadhan sebagai bulan perlombaan. Di saat mana Para hamba Nya saling berlomba dalam beribadah. Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih dahulu dan menang, sementara yang lain tertinggal dan kalah. Sungguh menakjubkan mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan. Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang diperbuatnya." Dengan kata lain, manusia yang puasanya diterima akan bersuka ria, sementara orang yang ditolak akan tertutup baginya gelak tawa.

Dari al Ahnaf bin Qais, bahwa suatu ketika seseorang berkata kepadanya, "Engkau telah tua; berpuasa akan dapat melemahkanmu." Tetapi al Ahnaf bahkan menjawab, "Dengan berpuasa, sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang. Bersabar dalam menaati Allah swt. tentu akan lebih mudah daripada menanggung siksa Nya.."
Demikianlah, semua itu adalah makna signifikan puasa.

Pentingnya Memenuhi Aspek aspek (Syarat) Batin

Sekarang Anda mungkin mengatakan, "Dengan menahan makan, minum dan nafsu seksual, tanpa harus memperhatikan syarat batin itu sudah sah. Menurut pendapat para ahli fiqih juga demikian, bahwa puasa yang bersangkutan sudah dapat dikatakan memenuhi syarat, sudah sah. Lalu mengapa kita harus repot repot?"

Anda harus menyadari bahwa para ulama fiqih telah menetapkan syarat-syarat lahiriah puasa dengan dalil-dalil yang lebih lemah dibanding dalil dalil yang menopang perlunya ditepati syarat syarat batiniah. Misalnya saja tentang mengumpat dan yang sejenis. Bagaimanapun perlu diingat, bahwa para ulama fiqih memandang batas kewajiban puasa dengan hanya mempertimbangkan pada kapasitas orang awam yang sering lalai, mudah terperangkap dalam urusan duniawi.

Sedangkan bagi mereka yang memiliki pengetahuan tentang hari Akhir, akan memperhatikan sungguh-sungguh dan memenuhi dengan syarat batin, sehingga ibadahnya sah dan diterima.

Hal demikian itu mereka capai dengan melaksanakan syarat-syarat yang akan mengantarkannya pada tujuan. Menurut pemahaman mereka, berpuasa adalah salah satu cara untuk menghayati salah satu akhlak Allah Swt, yaitu tempat meminta (shamadiyyah), sebagaimana juga contoh dari para malaikat, dengan sedapat mungkin menghindari godaan nafsu, karena malaikat adalah makhluk yang terbebas dari dorongan serupa.

Sedang manusia mempunyai derajat di atas hewan, karena dengan tuntunan akal yang dimilikinya akan selalu sanggup mengendalikan nafsunya; namun ia inferior (sedikit lebih rendah) dari malaikat, karena masih dikuasai oleh hawa nafsu, maka ia pun harus mencoba untuk mengatasi godaan hawa nafsunya.

Kapan pun manusia dikuasai oleh hawa nafsunya, maka ia akan terjatuh dalam tingkatan yang terendah, sehingga tidak ada tempat lagi selain bersama hewan. Kapan pun ia mampu mengatasinya, maka ia akan terangkat ke tingkatan para malaikat. Malaikat adalah makhluk yang paling dekat dengan Allah swt, karenanya malaikat pun menjadi contoh bagi makhluk yang ingin dekat dengan Allah. Tentu dengan segala ibadah akan menjadikan diri semakin dekat dengan Nya. Hanya saja bukan dalam pengertian dekat dalam dimensi ruang, tetapi lebih pada kedekatan sifat.

Jika demikian itu adalah rahasia puasa bagi mereka yang memiliki kedalaman pemahaman spiritual, apakah manfaat menggabungkan dua (porsi) makan pada waktu berbuka, seraya memuaskan nafsu lain yang tertahan ketika siang hari. Dan kalaulah demikian, lalu apa makna Hadis Nabi saw. yang berbunyi, "Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapat sesuatu selain lapar dan dahaga?"

Sumber : Milis MR

Puasa ala Sufi menurut Imam Al-Ghozaly (I)

"Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapat sesuatu selain lapar dan dahaga?"

Bismillah, Walhamdulillah Wassalatu Wassalamu
`Ala Rasulillah, Wa'ala Aalihie Wasahbihie Waman Walaah

Sesungguhnya ada tiga tingkatan puasa: biasa, khusus dan sangat khusus.
Puasa biasa, maksudnya adalah menahan diri terhadap makan, minum dan hubungan biologis antara suami istri dalam jangka waktu tertentu.
Puasa khusus, maksudnya adalah menjaga telinga, mata, lidah, tangan serta kaki dan juga anggota badan lainnya dari berbuat dosa.

Sedang puasa yang sangat khusus, maksudnya adalah puasa hati dengan mencegahnya dari memikirkan perkara perkara yang hina dan duniawi, yang ada hanyalah mengingat Allah swt. dan akhirat. Jenis puasa demikian dianggap batal bila sampai mengingat perkara perkara duniawi selain Allah dan tidak untuk akhirat. Puasa yang dilakukan dengan mengingat perkara perkara duniawi adalah batal, kecuali mendorong ke arah pemahaman agama, karena ini merupakan tanda ingat pada akhirat, dan tidak termasuk pada yang bersifat duniawi.

Mereka yang masuk ke dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa berdosa bila hari-harinya hanya terisi dengan hal hal yang dapat membatalkan puasa. Rasa berdosa ini bermula dari rasa takyakin terhadap karunia sertajanji Allah swt. untuk mencukupkan (dengan) rezeki Nya.

Untuk tingkatan ketiga ini adalah milik atau hanya dapat dicapai oleh para Rasul, para wali Allah dan mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Nya. Tidaklah cukup dilukiskan dengan kata-kata, karena hal tersebut telah menjadi nyata dalam tindakan (aksi). Tujuan mereka hanyalah semata mata mengabdi (berdedikasi) kepada Allah swt, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Terkait dengan makna firman Allah swt, "Katakanlah, Allah! Kemudian biarkanlah mereka bermain main dalam kesesatannya.” (Q s. 6: 91).

Jiwamu-Jiwaku

Betap hati ini ingin membahagiakanmu,
namun aku tak tahu cara mengungkapkannya kepadamu sayang….
Mungkin karena kebodohanku, atau karena ketidaktahuanku
Betapa aku ingin menjagamu dengan sebaik mungkin
Tapi aku tidak tahu cara menjagamu
Sayangku…..bantu aku untuk membahagianmu
Bantu aku untuk menjagamu

Sayangku
Riak-riak kecil itu selalu ada
Dan terus menguji kebersamaan kita
Sikapilah dengan getaran-getaran sholat kita
Jangan gugup atau linglung
Sebab ujian itu datang untuk mendewasakan kita

Layar baru saja terkembang
Dan angin telah mengantarkan kita ke tengah lautan
Desiran doa-doa dari orangtua kita
Menjaga cadik ini untuk terus melaju tanpa henti
Jiwamu-jiwaku, berteduh dalam lindungan bait-bait Alloh
Yang selalu kita eja disetiap kita berdiri, rukuk dan sujud

Sayangku kasihku belahan jiwaku
Lautan ini sangat luas
Jangan takut dengan ombak yang menghadang
Tertawalah meski kadang rasa khawatir itu menyapa
Lumrah kita cemas, namun jangan terlalu tenggelam dalam kecemasan

Nikmatilah ombak ini dan kita jadi penikmat laut lepas
Percayalah….layar ini akan tetap terkembang
Meski tak jarang badai menghantam
Namun teguhkan hati dalam mengimbangi tarian ombak
Nikmatilah nyanyian laut ini sayang
Yang terus mengiringi perjalanan dari cadik kita yang mungil ini

Mendung itu selalu ada, dan gelombang itu akan datang
Namun kebesaran jiwamu, akan mengantarkan cadik ini pada tujuan kita
Layar pasti akan terkembang dan terus berkembang