Pertama : Al Qur’an diturunkan ke dunia melalui dua tahap : Tahap pertama, diturunkan sekaligus dari “lauhil mahfudz” ke “baitul izzah ” di langit dunia sebagaimana susunan yang telah ditetapkan oleh Allah. Tahap kedua, diturunkan dari langit dunia kepada Rasulullah SAW, secara berangsur-angsur sesuai dengan sebab kejadiannya. ( lihat Manahilul irfan, lizzurqani, Jilid:1, hal:44-47 ). Tetapi susunan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang ada sekarang, itu memang bukan menurut sejarah turunnya, melainkan atas dasar perintah Allah sama dengan susunann Al-Qur’an yang di “lauhil mahfudz”. Imam Ahmad, meriwayatkan bahwa setiap kali turun ayat, Rasulullah s.a.w. memerintahkan para penulis wahyu, seraya bersabda “letakkan ayat ini setelah ayat ini di surat ini “( Musnad Imam Ahmad : Jilid:1, hal:57 ). Banyak riwayat yang menegaskan bahwa Rasulullah mengimami shalat, dengan membaca Al-Qur’an sebagaimana susunan ayat yang ada. Atas dasar ini ijma’ ulama menegaskan bahwa susunan ayat-ayat Al-Qur’an murni dari Allah tanpa campur tangan siapapun. ( lihat Manahilul irfan, lizzurqani : Jilid:1,hal:247 ) Begitu juga susunan surah-surah dalam Al-Qur’an, – sekalipun ada perbedaan pendapat, tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa susunan surah-surah itu berdasarkan wahyu dari Allah SWT, bukan ijtihad para sahabat. Pendapat ini didukung dengan banyak riwayat yang sahih, seperti keterangan bahwa Rasulullah sering membaca dalam shalatnya, beberapa surah secara berurutan seperti susunan yang ada. Rasulullah – sebagaimana riwayat Imam Bukhari – setiap tahun dua kali menyetor hafalan Al-Qur’an dari awal sampai akhir, kepada Malaikat Jibril. Setoran ini tentu secara berurutan sesuai dengan susunan yang ada. Ini juga diperkuat dengan ijma’ para sahabat dan kesepakatan jumhurul ulama ( mayoritas ulama ) – terhadap susunan Al Qur’an ada sekarang adalah merupakan bukti yang menguatkan bahwa susunan surah-surah berdasarkan wahyu ( lihat fadhailul Qur’an, libni katsir, 86 ).
Kedua : Mengenai pengelompokan ayat dalam setiap surat – sesuai dengan riwayat Imam Ahmad di atas – tentu juga berdasakan wahyu. Bagitu juga nama-nama surah, semuanya sesuai dengan petunjuk wahyu. Demikian pula waqaf per ayat, tidak bisa diketahui kecuali melalui wahyu. ( lihat Manahilul irfan K lizzurqani : jilid:1, hal:340 ). Adapun penentuan juz-juz Al-Qur’an yang tiga puluh jumlahnya, itu bukan dari Sahabat Utsman, karena mushhaf utsmani ( Al-Qur’an yang ditulis di zaman Utsman ) tidak terdapat juz-juz tersebut. Melainkan dari para ulama, dengan maksud untuk mempermudah. Sekalipun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat antara boleh dan tidak, namun kemudian dianggap boleh-boleh saja, selama tidak merusak susunan Al-Qur’an yang asli. ( lihat Manahilul Irfan, lizzurqani, Jilid:1, hal:409-410 ).
Ketiga : Adapun penentuan suatu ayat dimansukh dengan ayat lainnya, itu tidak melalui ijtihad, melainkan melalui tiga hal berikut : (1)Penegasan dari Nabi SAW atau sahabat r.a. Seperti hadits : ” aku dulu pernah melarangmu melakukan ziarah ke kuburan, maka sejak ini silahkan lakukan ziarah kubur tersebut “. (2) Kesepakatan umat bahwa ayat ini nasikh dan yang satunya mansukh. (3) Mengetahui sejarah turunnya, maka yang diturunkan lebih dahulu itulah yang mansukh. ( lihat mabahits fi ulumil Qur’an, limanna’ Al Qattan, hal:234 ). Semoga membantu
No comments:
Post a Comment